Thursday, September 24, 2015

Periode Kritis Tender Pekerjaan Konstruksi



Seakan menjadi tradisi tahunan, tender pekerjaan konstruksi masih saja ada
yang terlambat dilaksanakan. Tender yang kegiatan dan dananya telah tertata
dalam DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran) semestinya sudah dilaksanakan pada
triwulan pertama atau paling lambat triwulan kedua setiap tahun anggaran.
Salah satu penyebab terjadinya keterlambatan tender pekerjaan konstruksi
karena terkait dengan Perencanaan maupun Pengawasan. Tender belum bisa
dilakukan jika belum ada EE (Engineer’s Estimate) beserta Gambar
Kerja. Pekerjaan konstruksi juga belum bisa dilaksanakan jika belum ada
Pengawasnya. Permasalahan tersebut sebenarnya bisa diatasi dengan tender Jasa
Konsultansi mendahului tahun anggaran. Hal ini dimungkinkan sebagaimana diatur
dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 Pasal 73.
Kenyataannya sampai dengan bulan Agustus proses tender pekerjaan konstruksi
dan bahkan jasa konsultansi masih saja berlangsung. Pekerjaan Konstruksi yang
baru ditenderkan pada bulan Agustus ini akan berdampak pada singkatnya jangka
waktu pelaksanaan. Jika dihitung, jangka waktu pelaksanaan hanya berkisar
antara 90 – 100 hari kalender.
Berikut simulasi perhitungan sederhana jika pekerjaan konstruksi ditenderkan
bulan Agustus dengan menggunakan metode Pelelangan Umum Pascakualifikasi.
Perhitungan ini didasarkan pada beberapa asumsi antara lain hari libur bersama
Idul Fitri selama 2 hari (21 – 22 Agustus), hari kerja mulai Senin sampai Jumat
(kecuali hari libur), dan Peserta tender melakukan Sanggahan sampai dengan
Sanggahan Banding.
  1. Pengumuman dan Pendaftaran minimal 7 hari kerja (1 – 9
    Agustus);
  2. Pemasukan Dokumen Penawaran 1 hari kerja (10 Agustus);
  3. Evaluasi Penawaran sampai dengan pengumuman pemenang selama 4
    hari kalender (11 – 14 Agustus);
  4. Masa Sanggah selama 5 hari kerja (15 – 27 Agustus);
  5. Jika Peserta mengirimkan sanggahan pada hari terakhir (27
    Agustus) dan Panitia segera menjawab sanggahan tersebut pada keesokan
    harinya (28 Agustus) maka proses ini memakan waktu 1 hari kerja;
  6. Setelah menerima Jawaban Sanggahan, Peserta masih memiliki
    waktu 5 hari kerja untuk mempertimbangkan apakah akan melakukan sanggahan
    banding atau tidak (29 Agustus – 4 September);
  7. Jika Peserta melakukan sanggahan banding pada hari terakhir
    masa sanggah banding (4 September), maka Kepala Daerah (untuk sumber dana
    APBD) mempunyai waktu maksimal 15 hari kerja untuk menjawab sanggahan
    banding tersebut (5 – 25 September). Jika Kepala Daerah memberikan jawaban
    pada hari ketiga setelah menerima sanggahan banding (7 September) maka
    prosesnya memakan waktu selama 3 hari kerja;
  8. PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) menerbitkan SPPBJ (Surat
    Penunjukan Penyedia Barang/Jasa) 1 hari kerja setelah jawaban sanggahan
    banding (10 September);
  9. Penyedia (baca: Kontraktor) mempunyai waktu maksimal 14 hari
    kerja setelah menerima SPPBJ untuk menandatangani kontrak (11 – 28
    September). Anggap saja Kontrak ditandatangani 2 hari kerja setelah
    diterimanya SPPBJ (13 September);
  10. Setelah Kontrak ditandatangani PPK menyerahkan
    seluruh/sebagian lokasi pekerjaan yang dibutuhkan (STO/Site
    Take Over)
    kepada Penyedia sebelum diterbitkannya SPMK. Proses
    ini setidaknya membutuhkan waktu selama 1 hari (14 September);
  11. SPMK/COW (Surat Perintah Mulai Kerja/Comencement
    of Work
    ) diterbitkan maksimal 14 hari kalender sesudah Kontrak
    ditandatangani (14 – 27 September). Tanggal penerbitan SPMK menjadi
    periode awal pekerjaan konstruksi. Jika SMPK diterbitkan tanggal 15
    September maka masa pelaksanaan dihitung sejak tanggal tersebut.
Berdasarkan simulasi perhitungan sederhana tersebut dapat dilihat bahwa
pelaksanaan tender sampai dengan diterbitkannya SPMK membutuhkan waktu selama
29 hari kerja atau 46 hari kalender (1 Agustus – 15 September). Jika dihitung
sampai dengan batas akhir tahun anggaran (31 Desember) maka tinggal tersisa 108
hari kalender. Dalam Proses Pengelolaan Keuangan, dikenal adanya istilah Batas
Efektif Tahun Anggaran. Jika batas efektif tahun anggaran sampai dengan tanggal
21 Desember maka tinggal tersisa 98 hari kalender untuk masa pelaksanaan
pekerjaan.
Bagaimana dengan pekerjaan konstruksi yang secara teknis membutuhkan waktu pelaksanaan
lebih dari 98 hari kalender? Jika pekerjaan tersebut tetap dilaksanakan dengan
waktu yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis (dipersingkat/dipercepat)
maka kemungkinan tidak akan memenuhi spesifikasi teknis/standar yang telah
ditetapkan. Taruhannya adalah kualitas pekerjaan tidak terpenuhi dan berpotensi
menimbulkan kegagalan konstruksi (field construction) atau kegagalan
bangunan. Selain itu, jika pekerjaan tidak selesai akan berdampak kepada
Penyedia dan PA/KPA (Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran).
Penyedia yang tidak mampu menyelesaikan pekerjaan dianggap melakukan
wanprestasi dan terancam sanksi pemutusan kontrak, pencairan jaminan
pelaksanaan (5% dari nilai kontrak), dan/atau pencantuman dalam daftar hitam (black
list)
selama 2 tahun. Dampak bagi PA/KPA berupa tidak tercapainya output
kegiatan (pekerjaan tidak selesai) dan dana tidak terserap maksimal.
Pekerjaan konstruksi yang tidak selesai akan berdampak pada kegiatan dan
anggaran tahun berikutnya (n+1). Untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut PA/KPA
harus menganggarkan lagi dana untuk perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.
Pengadaan yang demikian pada akhirnya menjadi tidak efektif dan efisien. Selain
itu, masyarakat sebagai end user akhirnya tertunda menikmati sarana
dan prasarana yang tidak selesai dibangun tersebut.
Tidak jarang, untuk mengatasi masalah tersebut diatas para pihak (antara
lain Penyedia, PPK, Panitia Penerima Hasil Pekerjaan/Tim PHO, Konsultan
Pengawas, PA/KPA, Bendahara, dan PPTK) terpaksa (atau mungkin dipaksa?)
mencairkan 100 persen anggaran walaupun pekerjaan belum/tidak selesai. Hal ini
dilakukan agar dana yang telah tertata dalam DPA dapat dicairkan sebelum
melewati batas akhir tahun anggaran. Alasan klasiknya adalah untuk
“menyelamatkan anggaran”.
Tindakan “menyelamatkan anggaran” tersebut sangat jelas menyalahi Peraturan
Perundang-Undangan. Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara secara eksplisit dalam Pasal 21 menegaskan bahwa pembayaran atas beban
APBN/APBD tidak boleh dilakukan sebelum barang dan/atau jasa diterima. Selain
itu, untuk pembayaran pekerjaan konstruksi secara bulanan atau termin
seharusnya dilakukan senilai pekerjaan yang telah terpasang sebagaimana diatur
dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 Pasal 89 ayat (4).
Akhirnya, hanya sekadar renungan: diakhir tahun penting untuk “menyelamatkan
anggaran” namun masih jauh lebih penting “menyelamatkan diri sendiri”. Tak
jarang ada orang yang berhasil menyelamatkan anggaran diakhir tahun namun gagal
menyelamatkan dirinya sendiri ditahun-tahun berikutnya.
Catatan: Tulisan ini belum disesuaikan dengan Perpres No. 70 Tahun
2012 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres No. 54 Tahun 2010.





No comments:

Post a Comment