Thursday, September 24, 2015

Jebakan Hukum Swakelola Rehabilitasi Sekolah

Beberapa hari lalu saya dibuat tercengang dengan berita pada laman
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) yang berjudul “Swakelola Rehabilitasi Sekolah Dinilai Lebih Baik.”
Yang membuat saya tercengang adalah, tulisan tersebut sama sekali
tidak mencantumkan dasar hukum apapun untuk mendukung pernyataan yang
tertulis. Tulisan tersebut juga mencantumkan beberapa pernyataan di
bawah ini:

  1. Mekanisme pembangunan ruang kelas lebih baik menggunakan sistem swakelola dibandingkan dengan proses tender;
  2. Sistem  swakelola dapat menghemat anggaran 25-30 persen;
  3. Dicontohkannya,  di SDN Kendayakan Kragilan, dengan dana
    rehabilitasi Rp196 juta untuk tiga lokal dapat menambah satu lokal untuk
    guru dan untuk sanitasi; dan
  4. Keuntungan lainnya adalah dapat menciptakan lapangan kerja.
Apakah benar pernyataan-pernyataan tersebut? Mari kita telaah.
Dasar Hukum
Pelaksanaan pengadaan rehabilitasi sekolah wajib mengacu pada Perpres
Nomor 54 Tahun 2010 karena anggaran yang digunakan adalah APBN. Hal ini
tertuang pada Pasal 2 Perpres 54/2010 yaitu “Pengadaan Barang/Jasa di
lingkungan K/L/D/I yang pembiayaannya baik sebagian atau seluruhnya
bersumber dari APBN/APBD.”
Khusus swakelola, dijelaskan pada Pasal 26 Ayat 1 Perpres 54/2010
yaitu “Swakelola merupakan kegiatan Pengadaan Barang/Jasa dimana
pekerjaannya direncanakan, dikerjakan dan/atau diawasi sendiri oleh
K/L/D/I sebagai penanggung jawab anggaran, instansi pemerintah lain
dan/atau kelompok masyarakat.”
Pada pasal ini dapat dilihat bahwa swakelola terdiri atas 3 jenis, yaitu:
  1. K/L/D/I sebagai penanggung jawab anggaran;
  2. Instansi Pemerintah Lain; atau
  3. Kelompok Masyarakat.
Persyaratan sebuah pekerjaan dapat diswakelolakan yang dituangkan dalam Pasal 26 Ayat 2 adalah:
  1. pekerjaan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan/atau
    memanfaatkan kemampuan teknis sumber daya manusia serta sesuai dengan tugas pokok K/L/D/I;
  2. pekerjaan yang operasi dan pemeliharaannya memerlukan partisipasi langsung masyarakat setempat;
  3. pekerjaan yang dilihat dari segi besaran, sifat, lokasi atau pembiayaannya tidak diminati oleh Penyedia Barang/Jasa;
  4. pekerjaan yang secara rinci/detail tidak dapat dihitung/ ditentukan
    terlebih dahulu, sehingga apabila dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa
    akan menimbulkan ketidakpastian dan risiko yang besar
  5. penyelenggaraan diklat, kursus, penataran, seminar, lokakarya atau penyuluhan;
  6. pekerjaan untuk proyek percontohan (pilot project) dan survei yang
    bersifat khusus untuk pengembangan teknologi/metode kerja yang belum
    dapat dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa;
  7. pekerjaan survei, pemrosesan data, perumusan kebijakan pemerintah, pengujian di laboratorium dan pengembangan sistem tertentu;
  8. pekerjaan yang bersifat rahasia bagi K/L/D/I yang bersangkutan;
  9. pekerjaan Industri Kreatif, inovatif dan budaya dalam negeri;
  10. penelitian dan pengembangan dalam negeri; dan/atau
  11. pekerjaan pengembangan industri pertahanan, industri alutsista dan industri almatsus dalam negeri.
Mari ditelaah satu persatu persyaratan tersebut:
  1. Tugas pokok sekolah adalah menyelenggarakan kegiatan belajar
    mengajar bukan untuk melaksanakan rehabilitasi gedung dan bangunan,
    sehingga seharusnya sekolah tidak dapat melaksanakan swakelola untuk
    rehabilitasi gedung dan melanggar Pasal 26 Ayat 2 Huruf a.
  2. Gedung sekolah juga tidak masuk dalam klasifikasi pekerjaan yang
    operasi dan pemeliharaannya memerlukan partisipasi langsung masyarakat
    setempat karena operasi dan pemeliharaan sehari-hari dilaksanakan oleh
    manajemen sekolah. Contoh pekerjaan yang operasi dan pemeliharaan
    memerlukan partisipasi langsung masyarakat adalah WC Umum atau jalan
    desa karena memang digunakan langsung sehari-hari oleh masyarakat.
  3. Pasal 26 Ayat 2 huruf c hingga k juga tidak dapat dijadikan dasar untuk swakelola rehabilitasi sekolah.
Sehubungan dengan hal tersebut maka sekolah tidak dapat melaksanakan rehabilitasi gedung dengan cara swakelola.


Salah satu alasan yang sering disampaikan adalah dana rehabilitasi
merupakan dana hibah, sehingga dapat dilakukan dengan cara swakelola.


Pendapat ini merupakan pendapat yang masih berdasarkan kepada
Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 80 Tahun 2003 yang memang menyebutkan
bahwa salah satu tipe swakelola adalah “Kelompok masyarakat penerima
hibah.”


Kata “penerima hibah” ini telah dihilangkan pada Perpres Nomor 54 Tahun 2010.


Bahkan khusus untuk kelompok masyarakat yang boleh melaksanakan
swakelola, telah ditekankan pada Pasal 31 Huruf b Perpres 54/2010 yaitu
“pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa hanya diserahkan kepada Kelompok
Masyarakat Pelaksana Swakelola yang mampu melaksanakan pekerjaan.” Hal
ini menegaskan bahwa harus ada penilaian terlebih dahulu apakah kelompok
tersebut mampu atau tidak. Kemampuan biasanya sejalan dengan tugas
pokok dari kelompok masyarakat setempat, misalnya kelompok masyarakat
petani pasti memiliki kemampuan dalam hal pertanian, demikian juga
dengan kelompok masyarakat nelayan yang memiliki kemampuan dalam bidang
perikanan.


Hal ini saya ungkapkan karena ada juga yang menyampaikan bahwa
swakelola dapat dilakukan oleh Komite Sekolah, karena komite sekolah
merupakan kelompok masyarakat. Nah, selain tidak memenuhi Pasal 26 Ayat
2, kemampuan komite sekolah untuk melaksanakan rehabilitasi sekolah
apakah sudah dipastikan? Berapa banyak diantara mereka yang memiliki
kemampuan dalam bidang Jasa Konstruksi? Juga apakah mereka memiliki SKA
atau SKT dalam bidang Jasa Konstruksi sesuai wewenang Undang-Undang (UU)
Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi?


Berdasarkan paparan di atas, maka pelaksanaan Rehabilitasi Sekolah
dengan cara swakelola oleh sekolah penerima hibah/bantuan tidak
berdasarkan peraturan perundang-undangan.


Lebih Baik dan Lebih Hemat


Beberapa alasan lain yang digunakan untuk membenarkan pelaksanaan
swakelola adalah swakelola lebih baik daripada proses tender, sistem
swakelola dapat menghemat anggaran, lebih banyak bangunan yang dapat
dibangun dengan menggunakan cara swakelola dibandingkan dengan lelang,
dan dapat menciptakan lapangan kerja.


Swakelola lebih baik?


Kata-kata “baik adalah sebuah kata yang amat subjektif karena bergantung cara pandang dan pengalaman seseorang dalam memandang.


Memang benar bahwa di beberapa daerah, sekolah yang dulu dibangun
dengan cara swakelola, kualitasnya lebih baik dibandingkan dengan cara
lelang/tender. Hal ini karena kepala sekolahnya amat komit terhadap
kualitas sehingga sangat mengawasi pelaksanaan pembangunan. Juga orang
tua siswa yang ikut membangun, dilandasi dengan semangat bahwa anaknya
bersekolah di sekolah tersebut, maka mereka akan mengerjakan dengan
baik.


Tetapi tidak bisa dipungkiri juga, beberapa kepala sekolah malah
masuk bui alias hotel prodeo alias penjara karena dituduh korupsi dana
swakelola pembangunan gedung. Salah satu beritanya dapat dibaca disini.


Juga banyak sekolah yang dibangun dengan mekanisme swakelola, belum
lama digunakan malah rubuh. Hal ini dapat dilihat pada pembangunan gedung perpustakaan SD Negeri Pemurus 8 Banjarmasin yang umur bangunannya baru 1 tahun. Contoh lain adalah pembangunan Gedung Laboratorium IPA SMPN 1 Grogol yang rusak padahal umurnya baru 2 (dua) minggu.


Masih banyak contoh-contoh lain yang amat mudah diperoleh hanya dengan melakukan pencarian menggunakan Google.


Ini membuktikan, metode pengadaan, tidak menjamin mutu pekerjaan.


Swakelola lebih hemat?


Sama dengan tulisan “swakelola lebih baik”, hemat adalah sebuah sifat
yang bersifat subjektif dan sulit diukur. Bisa saja pada saat
pelaksanaan pembangunan gedung sekolah dilakukan penghematan, tetapi
baru 1 bulan dipakai malah rubuh, maka sia-sialah pekerjaan yang telah
dilakukan.


Yang harus diingat, swakelola dan menggunakan penyedia barang/jasa
harus berlandaskan Harga Perhitungan Sendiri (HPS) yang telah disusun.
Penghematan dapat dilakukan apabila penyusunan HPS dilakukan secara
profesional dan tidak di-mark-up sehingga menguntungkan diri sendiri
atau orang lain. HPS juga harus berdasarkan kepada harga pasar setempat
dan telah memperhitungkan pajak dan keuntungan yang wajar.


Pajak tidak bergantung kepada proses pengadaan, swakelola dan
penyedia barang/jasa tetap harus menghitung PPn sesuai aturan yang
berlaku. Jadi tidak benar bahwa kalau swakelola maka tidak dikenakan
pajak.


Kalimat “di SDN Kendayakan Kragilan, dengan dana rehabilitasi Rp196
juta untuk tiga lokal dapat menambah satu lokal untuk guru dan untuk
sanitasi” juga tidak menunjukkan bahwa swakelola bisa lebih hemat. Hal
ini berarti HPS yang ditetapkan sebelumnya masih terlalu tinggi sehingga
sebenarnya setelah dilaksanakan dapat menambah satu lokal lagi.


Penciptaan lapangan kerja dengan metode swakelola juga adalah
lapangan kerja semu karena yang bekerja bukan merupakan orang-orang yang
ahli di bidangnya. Juga kalau dilaksanakan menggunakan metode
lelang/tender, tetap dapat menciptakan lapangan kerja.


Jebakan Hukum


Yang saya khawatirkan sebenarnya adalah jebakan hukum dari
pelaksanaan swakelola ini, karena dengan pertanyaan sederhana saja, maka
Kepala Sekolah penerima bantuan rehabilitasi sudah sulit untuk
menjelaskan. Pertanyaan tersebut adalah “sebutkan dasar hukum dari
peraturan perundang-undangan yang membolehkan swakelola rehabilitas
bangunan sekolah dilaksanakan oleh sekolah itu sendiri.”


Kalau pembaca searching di google, terlihat sebagian besar yang
menjadi korban adalah Kepala Sekolah, karena kepala sekolah sebagai
Pengguna Anggaran (PA) bertanggung jawab terhadap pelaksanaan swakelola
di sekolahnya, sehingga apabila ada gugatan hukum, maka yang terkena
secara langsung adalah kepala sekolah itu sendiri dan bukan pemberi
bantuan.


Apalagi dalam juklak bantuan sering dituliskan “pengadaan barang/jasa
dilakukan sesuai ketentuan perundang-undangan,” sehingga apabila
pemberi bantuan ditanya maka bisa menjawab dengan jawaban “diplomatis”
bahwa pada juknis sudah ditetapkan tetapi kepala sekolah sendiri yang
tidak melaksanakan.


Selain itu, jangan sampai pemberian bantuan ini merupakan cara untuk
mempercepat “daya serap anggaran” tanpa memperhitungkan konsekwensi
hukum yang akan diterima oleh penerima bantuan pada masa yang akan
datang.


Apabila Bapak Menteri bersikeras bahwa sekolah dapat melaksanakan
swakelola untuk rehabilitasi, maka silakan mengusulkan aturan khusus
kepada Presiden agar diterbitkan Peraturan Presiden (Perpres) yang
spesifik mengatur mengenai pembangunan atau rehabilitasi sekolah.


Hal tersebut bukan tidak mungkin, dibuktikan dengan telah
dikeluarkannya Perpres Nomor 59 Tahun 2011 yang mengatur mengenai
penunjukan langsung pengadaan barang/jasa untuk kegiatan Sea Games ke
XVI di Palembang.


Jalan Keluar


Pertanyaan berikutnya setelah pembahasan di atas adalah ” Bagaimana
apabila sekolah telah terlanjur menerima dana untuk rehabilitasi dan
diperintahkan melaksanakan melalui metode Swakelola?”


Menafikan pelanggaran pasal 26 Ayat 2 Perpres 54/2010, maka kita
dapat menganggap swakelola tersebut adalah swakelola yang dilaksanakan
oleh K/L/D/I penanggung jawab anggaran, sehingga dilaksanakan dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 27 ayat 1 dan 2 serta Pasal 29 Perpres
54/2010.


Hal-hal yang wajib diperhatikan adalah:


  1.  Jumlah tenaga dari luar sekolah (termasuk tukang, pengawas, dll)
    tidak boleh melewati 50% dari jumlah keseluruhan pegawai sekolah yang
    terlibat dalam pelaksanaan pembangunan. Hal ini karena tujuan utama
    swakelola adalah menggunakan tenaga yang dimiliki sendiri dan tidak
    sekedar menjadi broker pekerjaan dan selanjutnya dikerjakan oleh
    pengusaha secara total. Hal ini tertuang pada ketentuan Pasal 27 Ayat 2
    Perpres 54/2010
  2. Pengadaan bahan/barang, Jasa Lainnya, peralatan/suku cadang dan
    tenaga ahli dilakukan oleh ULP/Pejabat Pengadaan dan dilaksanakan
    menggunakan metode pengadaan barang/jasa sesuai Perpres 54/2010. Hal ini
    berarti apabila bahan bangunan yang apabila dijumlahkan nilainya
    melebihi 100 juta, tetap wajib dilelangkan oleh Kepala Sekolah, tidak
    boleh hanya dibeli langsung ke toko. Apabila nilainya dibawah 100 juta,
    maka menggunakan metode pengadaan langsung dan memperhatikan bukti-bukti
    pembayaran sesuai Pasal 55 Perpres 54/2010 dan menggunakan Standard
    Bidding Document (SBD) Pengadaan Langsung yang dikeluarkan oleh LKPP.
  3. Hal ini juga berlaku untuk tenaga ahli dan tenaga terampil yang
    digunakan, tetap harus memperhatikan ketentuan tenaga ahli dan terampil
    berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam bidang Jasa Konstruksi,
    yaitu UU Nomor 18/1999 dan peaturan turunannya, termasuk Peraturan
    Menteri PU (PermenPU) Nomor 7 Tahun 2011. Salah satunya adalah tenaga
    ahli dan terampil wajib memiliki sertitikat keahlian atau keterampilan
    yang dikeluarkan oleh LPJK.
  4. Kepala sekolah tetap wajib membentuk 3 tim, yaitu tim perencana,
    pelaksana dan pengawas untuk melaksanakan pekerjaan sesuai tahapan dan
    bidang tugas yang telah diuraikan pada Lampiran VI Perpres 54/2010.
Semoga amanah yang diberikan dapat dilaksanakan dan tidak menjadi
sebuah jebakan hukum yang akan menjerat beberapa tahun yang akan datang.
 

No comments:

Post a Comment