Thursday, September 24, 2015

Pemutusan Kontrak Dan Sanksi Blacklis (Bagian 1)



“Masuk Dalam Daftar Hitam, Tak Bisa Menang Tender Lima Tahun”
demikian judul berita di salah satu media online yang ada di Sulut
beberapa hari yang lalu. Dalam berita tersebut juga terdapat pernyataan bahwa
Kepala daerah akan mem-blacklist kontraktor berdasarkan usulan
Inspektorat dan Dinas. Beberapa hari terakhir ini baik media local maupun
nasional juga melansir berita yang kurang lebih substansinya sama, yaitu
keterlambatan penyelesaian proyek, pemutusan kontrak, dan pengenaan sanksi blacklist.
Permasalahan ini bukan saja menjadi isu local tapi merupakan isu nasional
yang seakan menjadi tradisi tahunan tatkala memasuki  saat ijury time
dengan berakhirnya masa tahun anggaran.
Pemutusan Kontrak dan pengenaan sanksi blacklist menjadi menarik
untuk dibahas dalam rangka memperjelas sudut pandang dan pemahaman guna
menghindari adanya bias dan kesalahan prosedur dalam pengambilan keputusan.
Pengenaan sanksi blacklist tidak terlepas dari adanya pemutusan
kontrak secara sepihak oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Oleh karena itu
sebelum terlalu jauh membahas mengenai blacklist harus dipahami dulu
tentang mekanisme pemutusan kontrak.
Pemutusan Kontrak diatur dalam Pasal 93 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 54
Tahun 2010 (selanjutnya disingkat Perpres 54/2010) tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah. Dalam Pasal tersebut dijelaskan bahwa PPK dapat
memutuskan Kontrak secara sepihak apabila: 1). denda keterlambatan pelaksanaan
pekerjaan akibat kesalahan Penyedia Barang/Jasa sudah melampaui 5% (lima
perseratus) dari nilai Kontrak; 2). Penyedia Barang/Jasa lalai/cidera janji
dalam melaksanakan kewajibannya dan tidak memperbaiki kelalaiannya dalam jangka
waktu yang telah ditetapkan; 3). Penyedia Barang/Jasa terbukti melakukan KKN,
kecurangan dan/atau pemalsuan dalam proses Pengadaan yang diputuskan oleh
instansi yang berwenang; dan/atau 4). pengaduan tentang penyimpangan prosedur,
dugaan KKN dan/atau pelanggararan persaingan sehat dalam pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa dinyatakan benar  oleh instansi yang berwenang.
Hal penting yang harus diperhatikan pada pasal tersebut adalah kata “dapat
dalam kalimat “PPK dapat memutuskan Kontrak secara sepihak
apabila: 1). …. s/d. 4)…. . Kata “dapat” pada kalimat tersebut
berarti ”Pemutusan Kontrak tidak wajib dilakukan” walaupun
telah memenuhi salah satu atau lebih kondisi pada point 1) s/d 4). Kewenangan
untuk pemutusan Kontrak sepenuhnya merupakan tanggungjawab dari PPK sebagai
pihak yang menadatangani, melaksanakan dan mengendalikan pelaksanaaan Kontrak
(Pasal 11 ayat (1) huruf c,d,e). Keputusan PPK dalam melakukan atau tidak
melakukan Pemutusan Kontrak tentu harus melalui pertimbangan yang objektif
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat
dipertanggungjawabkan
Tindak lanjut terhadap adanya pemutusan Kontrak sebagaimana yang dijelaskan
di atas diatur pada ayat berikutnya. Pasal 93 ayat (2) menerangkan bahwa dalam
hal pemutusan Kontrak dilakukan karena kesalahan Penyedia Barang/Jasa: 1).
Jaminan Pelaksanaan dicairkan;  2). sisa Uang Muka harus dilunasi oleh
Penyedia Barang/Jasa atau Jaminan Uang Muka dicairkan; 3). Penyedia Barang/Jasa
membayar denda; dan/atau 4). Penyedia Barang/Jasa dimasukkan
dalam Daftar Hitam.
Penggunaan kata “dan/atau” diantara point 3) dan 4) tersebut
bersifat optional cumulative, artinya bahwa setelah diadakan pemutusan
Kontrak, PPK dapat memilih satu atau lebih tindakan sebagaimana yang diatur
pada Pasal 93 ayat (2). Tidakan tersebut tentu harus sesuai dengan actual
condition
pada saat dilakukan pemutusan Kontrak serta penilaian ada atau
tidaknya itikad baik  (good faith) dari Penyedia.
Pemutusan Kontrak sepatutnya didahului dengan tindakan peringatan, seperti
teguran baik secara lisan maupun terlulis, kemudian dilakukan langkah-langkah
berupa Show Caused Meeting/SCM (rapat pembuktian) dan pemberian Test
Case
(uji coba) kepada Penyedia. Show Caused Meeting dan Test
Case
dilakukan oleh PPK dalam rangka percepatan penyelesaian pekerjaan
yang mengalami kontrak kritis.
Pemutusan Kontrak juga harus memperhatikan jenis kontrak yang digunakan.
Umumnya jenis kontak yang digunakan adalah Kontrak Tahun Tunggal. Berdasarkan
Perpres 54/2010 Pasal 52 ayat (1) dijelaskan bahwa Kontrak Tahun Tunggal
merupakan Kontrak yang pelaksanaan pekerjaannya mengikat dana anggaran selama
masa 1 (satu) Tahun Anggaran. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang
Perbendaaraan Negara menjelaskan bahwa Tahun Anggaran meliputi masa satu tahun
mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Dengan demikian untuk
Kontrak Tahun Tunggal, tidak ada lagi pembayaran terhadap pekerjaan yang telah
melewati tanggal 31 Desember. PPK dengan segala kewenangannya sepatutnya
melakukan pemutuan kontrak atas pertimbangan batas akhir tahun anggaran.
Penyedia yang masih terus melaksanakan pekerjaannya melewati batas tahun
anggaran tentu harus menerima risiko tidak akan memperoleh hak pembayarannya terhadap
prestasi tersebut.
Pemutusan Kontrak karena adanya kelalaian Penyedia akan berimplikasi pada
pemberian sanksi. Merujuk pada Pasal 118 Perpres 54/2010, dikenal ada empat
jenis sanksi, yaitu: 1). sanksi administrasi; 2). sanksi pencantuman dalam
daftar hitam (blacklist); 3). gugatan secara perdata; dan/atau 4).
pelaporan secara pidana kepada pihak yang berwenang. Pertanyaan yang harus
dijawab kemudian adalah bagaimana, kapan, oleh siapa, dan kepada siapa sanksi
tersebut dikenakan.




No comments:

Post a Comment