Thursday, September 24, 2015

3 Hal Penyebab Menjadi Terpidana PBJ

Sudah lama tidak meninggalkan jejak pada blog ini dengan segudang alasan “klasik.” Salah satunya adalah “sibuk” :)
Namun, saat sedang menunggu jemputan di
Bandara menuju ke Makassar, tiba-tiba ada keinginan untuk menulis
beberapa hal yang ada di dalam kepala ini, salah satunya adalah
pengalaman menjadi beberapa kali pemberi keterangan ahli di persidangan
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Dalam berbagai berita acara yang saya
dalami dan diskusi selama proses pemeriksaan serta peradilan, bisa saya
simpulkan bahwa ada 3 hal yang menjadi penyebab seseorang tersandung
pada Tipikor khususnya dalam bidang pengadaan barang/jasa pemerintah.
3 hal itu adalah:
  1. Jahat
  2. Terpenjara Perintah Atasan
  3. Tidak Tahu
Dibawah ini adalah ulasannya:
Jahat
Kelompok ini adalah kelompok yang paling
membuat ulah dan masalah. Dalam pikiran mereka adalah mencari
keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa mempedulikan lagi yang benar dan
yang salah.
Setiap jabatan maupun kesempatan yang
dimiliki dianggap sebagai sebuah peluang untuk menambah pundi-pundi
kekayaan mereka. Seribu satu cara licik mereka gunakan untuk mengakali
hukum dan aparat penegak hukum.
Apabila mereka adalah anggota
legislatif, maka kekuasaan legislatif yang mereka miliki, khususnya hak
budgeting akan digunakan untuk memuaskan nafsu serakah mereka terhadap
harta. Memasukkan usulan anggaran “siluman,” memalsukan kebutuhan
masyarakat, memalsukan proposal untuk bantuan sosial, menekan eksekutif
untuk memenangkan perusahaan yang berada di bawah kendali mereka,
memeras pengusaha jujur untuk memberikan upeti, melobi berbagai pihak
untuk meningkatkan kapasitas yang nantinya akan diklaim sebagai
keberhasilan mereka yang harus dibarter dengan memenuhi kepentingan
jahat mereka, dan berbagai modus lain yang dapat mereka lakukan.
Apabila mereka adalah anggota eksekutif,
maka kekuasan negara yang mereka miliki dibelokkan untuk memenuhi
keinginan hawa nafsu atas harta benda dan kekayaan yang tak pernah
terpuaskan. Menggelapkan aturan perundang-undangan dengan prinsip kalau
bisa dipersulit kenapa harus dipermudah dan nantinya untuk mempermudah
mereka minta “biaya” tertentu sebagai pelicin, memerintahkan anak buah
untuk mengatur dan mengotak atik pengadaan dan persyaratan lelang,
memeras pengusaha yang jujur dengan berbagai alasan supaya dapat
menerima suap dan gratifikasi, menggelapkan proposal swakelola dengan
memasukkan unsur keluarga dan nepotisme di dalamnya, serta berbagai akal
bulus lainnya.
Apabila mereka adalah anggota yudikatif,
maka kekuasaan kehakiman yang berada di tangan mereka digunakan untuk
memeras para pihak yang berkasus dalam bidang PBJ untuk mengubah putusan
dan menjual hukuman pidana. Belum lagi kroni-kroni mereka yang menjadi
pengusaha maupun pengacara digunakan untuk mencari-cari kesalahan dan
memeras kesana kemari.
Apabila mereka adalah Pengusaha, maka
berlaku hukum “Keuangan yang maha kuasa.” Dengan fasilitas dan dana yang
melimpah, mereka mencoba untuk menambah lagi uang mereka yang kadang
sudah tidak berseri dengan cara-cara yang tidak benar. Sogokan, suapan,
gratifikasi, ancaman, pemerasan, menjadi makanan sehari-hari untuk
memenuhi hawa nafsu mereka terhadap harta yang hanya bisa dihentikan
dengan segumpal tanah.
Apabila mereka adalah Aparat Penegak
Hukum, maka kekuasaan penegakan hukum ditangan mereka digunakan untuk
mencari-cari kesalahan pelaku pengadaan yang nantinya ditukar dengan
janji tidak dilanjutkannya penyelidikan maupun penyidikan. Laporan
“angin lalu” ditelusuri, kalau tidak ada laporan, maka mencari-cari
informasi yang kadang hanya selentingan berita. Salah pengumuman lelang
bisa menjadi sebuah kesalahan yang setara dengan pidana mati. Surat
panggilan diobral yang nantinya berhenti hanya dengan beberapa lembar
kertas berwarna merah.
Mereka ini adalah kelompok yang pantas untuk dipidana seberat-beratnya.
Terpenjara Perintah Atasan.
Kelompok ini terbanyak berada pada
lingkup Pegawai Negeri Sipil, Pegawai BUMN/D, maupun pegawai swasta.
Ancaman mutasi ke daerah terpencil, kehilangan jabatan, dikucilkan dari
pergaulan, kehilangan tunjangan, dipecat dari pegawai,  menjadi senjata
ampuh untuk mengendalikan mereka.
Mereka bagaikan kerbau yang dicocok
hidungnya dan diarahkan kesana kemari oleh atasannya. Mata mereka
dibutakan oleh iming-iming jabatan, kesempatan, harta, maupun kepastian
nasib yang dijanjikan oleh orang yang sebenarnya sama mayanya dengan
mereka juga.
Patgulipat lelang, persyaratan yang aneh
bin ajaib (termasuk membuat pagar keliling kantor senilai 600 juta,
minta 10 orang bersertifikat SKA dan 15 orang bersertifikat SKT), jadwal
yang simsalabim (pengumuman hanya 1 hari), dokumen yang berasal dari
sumber antah berantah, menjadi makanan mereka sehari-hari.
Tidak kurang dari mereka yang
berpendidikan setinggi langit dengan gelar yang jauh lebih panjang dari
namanya, pengalaman puluhan tahun, sertifikat yang kalau dijilid bisa
mengalahkan novel Harry Potter, dan jam terbang dalam pengadaan yang
mengalahkan pilot yang profesional. Namun hal itu hanya menjadi abu di
atas kaca yang mudah dihilangkan dengan sapuan janji-janji.
Mereka tahu itu salah, tetapi tidak memiliki (kemauan) kemampuan untuk menghindari.
Mereka ini adalah orang-orang yang patut
dikasihani, karena sebenarnya mereka adalah tameng atau korban dari
golongan pertama. Mereka inilah sandal jepit yang diinjak-injak setiap
hari untuk melindungi kaki-kaki durjana yang menginjak-injak kebenaran.
Tidak Tahu
Yang terparah adalah, banyak yang tidak tahu bahwa mereka tidak tahu.
Saat disampaikan informasi, mereka tutup
telinga karena (mungkin) yang menyampaikan berada di bawah level
mereka. Atau menganggap itu tidak penting. Namun, saat terkena musibah,
barulah terlihat wajah melongo mereka. Tatapan memelas, mata yang merah
berair, raut penyesalan karena tidak belajar, bahasa tubuh lemas karena
pasrah adalah tanda-tanda umum saat bertemu dengan kelompok ini.
Ucapan “saya baru tahu pak,” “kalau tahu
begini saya tidak mau jadi PPK,” “kok tidak disampaikan sebelumnya,”
dan “saya menyesal baru tahu sekarang,” adalah kalimat-kalimat umum yang
mereka sampaikan saat menjadi terperiksa, tersangka, terdakwa, dan
bahkan saat jadi terpidana.
Mereka lupa bahwa yang namanya belajar
dan mencari tahu adalah fitrah manusia. Setiap jabatan, tindakan,
perbuatan pasti ada ilmu dan pengetahuannya. Menjadi seorang PA/KPA,
PPK, ULP, PPHP, Bendahara, Pengusaha, Anggota DPR/DPRD, APH, dll pasti
membutuhkan pengetahuan yang spesifik. Pasti ada rambu-rambu yang mana
boleh, tidak boleh, wajar, tidak wajar, wajib, sunnah, mubah, dll dll
yang harus diketahui.
Jabatan adalah amanah yang harus dijaga.
Untuk menjaganya, butuh segenap kemampuan dan pengetahuan yang
dimiliki, bukan sekedar dijadikan dasar untuk memperoleh keuntungan.
Belajar tidak mengenal usia, waktu,
kesempatan, dan alasan. Segala yang ada di sekeliling kita adalah ilmu
pengetahuan yang hanya dibatasi oleh keinginan.
Untuk golongan ini, jadikan setiap
kesempatan untuk terus belajar. Bahkan, kalau sudah terlanjur
terperosok, maka itu merupakan pembelajaran yang paling berharga.
Bukankah pengalaman adalah guru yang paling berharga khan?
Cukup dulu “cuap-cuap” hari ini semoga bermanfaat untuk kita semua

No comments:

Post a Comment