Thursday, September 24, 2015

Jebakan Anggaran Perubahan


Bulan Agustus adalah bulan dimulainya
pembahasan, penyusunan, dan penetapan Anggaran Perubahan yang merupakan
salah satu tahapan dari proses keuangan negara .
Anggaran Perubahan sebenarnya merupakan
tindakan koreksi atas anggaran negara atau daerah yang telah ditetapkan
pada tahun sebelumnya. Beberapa asumsi makro yang telah disusun mungkin
saja sudah tidak sesuai dengan kenyataan, misalnya lifting minyak,
target pendapatan dari pajak maupun dari bagi hasil, tingkat suku bunga,
kurs dollar, maupun inflasi.
Anggaran perubahan tentu saja akan
berdampak secara langsung terhadap proses pengadaan barang/jasa
pemerintah, karena di dalamnya pasti ada belanja modal atau belanja
barang/jasa yang berpedoman pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54
Tahun 2010 dan Perubahannya.
Beberapa kendala dan tantangan yang muncul pada saat munculnya anggaran perubahan adalah:
  1. Perencanaan yang tidak matang
  2. Waktu pelaksanaan yang mepet
  3. Akuntabilitas yang tidak terjaga
Perencanaan yang tidak matang
Salah satu kendala utama dalam proses
pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia adalah lemahnya
perencanaan dalam pengadaan. Banyak pengadaan yang dilaksanakan tidak
berdasarkan kebutuhan dan hanya berdasarkan keinginan sesaat, sehingga
melahirkan pengadaan yang mengada-ada.
Setiap tambahan anggaran yang diperoleh
berdasarkan alokasi anggaran perubahan dianggap sebagai “rejeki nomplok”
yang dapat dibelanjakan seenaknya selama dapat dipertanggungjawabkan
pengeluarannya. Mereka lupa bahwa klausul “dapat dipertanggungjawabkan”
tidak sekedar dilengkapi dengan kuitansi atau dokumen bukti pembayaran
saja, melainkan juga harus dilengkapi dengan dokumen pendukung
perencanaan yang matang.
Banyak pimpinan instansi yang seakan
akan bangun dipagi hari, menguap, kemudian terpikir untuk mengadakan
sesuatu, dan setelah tiba di kantor langsung memerintahkan staf untuk
membuat perencanaan dan mengadakan apa yang baru saja diimpikan. Hal ini
dilakukan tanpa membuka dokumen rencana strategis, tidak melihat RPJMD,
bahkan tanpa ada KAK yang matang terlebih dahulu.
Disatu sisi, pemberian dan pembagian
anggaran juga hanya dilakukan secara proporsional alias bagi-bagi
anggaran semata. Jumlah anggaran yang diberikan kepada instansi tidak
berdasarkan pertimbangan kebutuhan melainkan pembagian berapa banyak
anggaran yang dapat dihabiskan oleh instansi tersebut. Di beberapa
instansi, karena memperoleh porsi anggaran yang besar namun ketakutan
dalam melaksanakan pengadaan, malah “melempar bola panas” dalam bentuk
bantuan sosial, hibah, atau blockgrant kepada instansi yang dibawahnya.
Nanti yang menjadi korban adalah instansi penerima yang tidak merasa
sudah menerima “musibah” dan menganggap hal tersebut sebagai “rejeki.”
Instansi pemberi tentu saja akan menuai pujian dengan alasan “daya serap
anggaran yang tinggi.”
Waktu Pelaksanaan Yang Mepet 
Salah satu  sifat anggaran perubahan
adalah dikeluarkan pada pertengahan tahun anggaran. Ini berarti masa
persiapan, pemilihan penyedia dan pelaksanaan pekerjaan hanya tinggal
maksimal 6 bulan lagi dengan catatan penetapan anggarannya tidak molor.
Namun berdasarkan pengalaman, di beberapa daerah penetapannya bisa
sampai bulan Oktober, yang berarti masa pelaksanaan pekerjaan hanya
tinggal 2 bulan saja.
Dalam menyikapi waktu yang amat singkat
inilah maka banyak terjadi sulap dan akrobat dalam pelaksanaan
pekerjaan. Ada yang sudah dikerjakan sampai selesai, nanti tinggal
diatur seakan-akan dilelang secara terbuka. Ada juga yang pada bulan
Desember dibuat BAST 100% agar anggaran dapat terserap, namun kenyataan
di lapangan amat jauh dari nilai tersebut. Kongkalingkong, pekerjaan
fiktif, suap, pemalsuan dokumen, gratifikasi, bermunculan bagaikan jamur
di musim hujan.
Hal ini sering terjadi karena sifat dan
jenis pekerjaan yang akan diadakan menggunakan anggaran perubahan tidak
dikaji secara mendalam dan tidak direncanakan secara baik. Semua
menggunakan konsep aji mumpung, yaitu mumpung ada anggaran, maka
sebaiknya bangun gedung. Anggaran 10 Milyar, waktu pelaksanaan 2 Bulan.
Waktu pelaksanaan yang sempit juga
menyebabkan pelaksanaan pelelangan menjadi terburu-buru. Kegagalan
lelang menjadi hal yang tidak boleh terjadi, sehingga segala sesuatu
harus diatur terlebih dahulu. Bahkan kalau perlu sejak awal dokumen
penawaran penyedia sudah disusunkan oleh ULP. Hal ini menyebabkan tidak
terjadinya persaingan yang sehat dan berpotensi terjadinya kerugian
negara.
Akuntabilitas Yang Tidak Terjaga
Akibat pelaksanaan terburu-buru, maka
dokumen yang dihasilkan dari pelaksanaan pekerjaan menjadi amburadul.
Salah satu contohnya adalah banyaknya dokumen sisipan (biasanya nomor
surat menggunakan kode a, b, c, dll dibelakang nomor) yang justru dibuat
menggunakan tanggal mundur.
Dokumen pelelangan yang disusun, karena
alasan waktu tidak cukup, hanya sekedar copy paste save as dari Standard
Bidding Document (SBD) atau Standar Dokumen Pengadaan (SDP) LKPP tanpa
diedit. Bahkan dalam dokumen masih sering terjadi informasi yang saling
bertentangan satu sama lain. Metode pelelangan masih tertulis “lelang
umum/pemilihan langsung” yang seharusnya dipilih salah satunya oleh
Pokja ULP, jenis kontrak masih memunculkan harga satuan dan lumpsum
secara bersamaan, rancangan kontrak yang masih kosong sama sekali, dan
masih banyak lagi.
Belum lagi dokumen pelaksanaan pekerjaan
yang kadang tidak masuk diakal. Salah satunya adalah Tanggal Kontrak 31
Desember pukul 8 Pagi, dan tanggal Berita Acara Serah Terima bertanggal
31 Desember pukul 5 sore, padahal pekerjaannya membangun gedung senilai
3 Milyar Rupiah. Ini pasti pemborongnya dari kalangan Jin yang mampu
membangun hanya dalam hitungan jam.
Dokumen-dokumen merupakan pintu masuk
pada saat pemeriksaan atau audit. Apabila pintu ini sudah lubang
dimana-mana, maka bersiaplah untuk dicek lebih dalam lagi, karena boleh
jadi isinya sudah tidak ada.
Apa Yang Harus Dilakukan?
Angaran perubahan yang terbit setelah
pertengahan tahun dapat menjadi jebakan berbahaya yang siap mengintai
oleh seluruh pengelola pengadaan. Namun, karena ini sudah merupakan
aturan keuangan negara, maka tetap wajib dilaksanakan.
Untuk menjaga agar tidak terjebak, maka hal-hal ini dapat diperhatikan:
  1. Untuk PA/KPA serta Bagian Perencanaan,
    apabila memperoleh tambahan anggaran melalui anggaran perubahan,
    prioritaskan pekerjaan yang telah direncanakan sebelumnya namun tidak
    dapat dilaksanakan karena adanya pembatasan/pemotongan anggaran. Hindari
    membuat kegiatan baru yang tidak ada dalam Rencana Strategis (Renstra)
    maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).
  2. Apabila tidak ada lagi kegiatan yang
    tertunda dan dapat dibiayai dari anggaran perubahan, maka prioritaskan
    program yang akan dilaksanakan tahun depan untuk ditarik pada anggaran
    tahun ini. Hal ini agar target yang telah tertera pada Renstra maupun
    RPJM dapat lebih cepat terpenuhi.
  3. Hindari belanja modal dan prioritaskan
    belanja barang, khususnya belanja modal pekerjaan kostruksi yang
    dipastikan tidak akan selesai pada Bulan Desember
  4. Lengkapi semua dokumen perencanaan,
    yang dimulai dari Identifikasi Kebutuhan, Kerangka Acuan Kerja (KAK),
    dan Rencana Anggaran Biaya (RAB) tanpa mengada-ada. Sesuaikan dengan
    kebutuhan dan bukan keinginan.
  5. Apabila menerima anggaran dalam bentuk
    Hibah atau Blockgrant, maka pastikan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) atau
    Petunjuk Teknis (Juknis) sudah lengkap dan memuat ketentuan mulai dari
    perencanaan, pengadaan, pembayaran hingga pertanggungjawaban. Hati-hati
    dengan kalimat bersayap “pengadaan dilaksanakan sesuai ketentuan
    peraturan perundang-undangan” yang berarti penyusun Juklak/Juknis hendak
    lepas tanggung jawab dari pelaksanaan kegiatan.
  6. PPK agar dalam melaksanakan tugasnya,
    khususnya penyusunan rencana pelaksanaan pekerjaan (Spek Teknis, HPS ,
    dan Rancangan Kontrak) agar lebih berhati-hati karena biasanya pada
    akhir tahun harga lebih fluktuatif dan supply tersedia. Jangan sampai
    pada saat pelaksanaan pekerjaan terjadi kekosongan barang yang
    mengakibatkan tertundanya pelaksanaan pekerjaan.
  7. PPHP jangan mau membuat dan
    menandatangani Berita Acara Serah Terima (BAST) pekerjaan 100% kalau
    pelaksanaan pekerjaan belum mencapai 100% walaupun dengan alasan “supaya
    anggaran dapat dicairkan.”
  8. Apabila setelah dianalisa pekerjaan
    tidak dapat dilaksanakan karena tidak sesuai kebutuhan, barang tidak
    tersedia, atau waktu pelaksanaan yang tidak mencukupi, maka TOLAK
    anggaran tersebut. Jangan coba-coba melaksanakan pekerjaan yang nantinya
    akan disesali dikemudian hari.
Semoga jebakan ini dapat dihindari dan pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan kebutuhan.


PPK Tidak Sekedar Tanda Tangan Kontrak

Awal tahun 2012  beberapa orang datang langsung berdiskusi atau
bertanya melalui telepon tentang Pengadaan Barng/Jasa khususnya mengenai
pelaksanaan kontrak.
Sebagian isi diskusi adalah menanyakan pekerjaan yang dilaksanakan
akhir tahun 2011 namun hingga tahun 2012 masih belum selesai. Ada yang
bertanya bagaimana cara pemutusan kontrak, ada yang bertanya kok bisa
terjadi padahal penawaran penyedia barang/jasa pada saat pelelangan
bagus-bagus, ada juga yang bingung bagaimana membayarnya padahal batas
akhir pembayaran hanya sampai 31 Desember.
Setelah diteliti lebih dalam, sebagian besar terjadi karena
ketidaktahuan dan kurangnya kompetensi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Penyebabnya, sebagian besar menjadi PPK bukan karena memang pantas
menjadi PPK, melainkan karena menduduki jabatan eselon tertentu.
Sayangnya, banyak yang lupa, bahwa tanggung jawab PPK di Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 amat berat.
Berdasarkan Pasal 11 Perpres Nomor 54 Tahun 2010, tugas pokok dan kewenangan PPK adalah:
    1. PPK memiliki tugas pokok dan kewenangan sebagai berikut:
      1. menetapkan rencana pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa yang meliputi:
        1. spesifikasi teknis Barang/Jasa;
        2. Harga Perkiraan Sendiri (HPS); dan
        3. rancangan Kontrak.
      2. menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa;
      3. menandatangani Kontrak;
      4. melaksanakan Kontrak dengan Penyedia Barang/Jasa;
      5. mengendalikan pelaksanaan Kontrak;
      6. melaporkan pelaksanaan/penyelesaian Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA;
      7. menyerahkan hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA dengan Berita Acara Penyerahan;
      8. melaporkan kemajuan pekerjaan termasuk penyerapan anggaran dan hambatan pelaksanaan pekerjaan kepada PA/KPA setiap triwulan; dan
      9. menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.
    2. Selain tugas pokok dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal diperlukan, PPK dapat:
      1. mengusulkan kepada PA/KPA:
        1. perubahan paket pekerjaan; dan/atau
        2. perubahan jadwal kegiatan pengadaan;
      2. menetapkan tim pendukung;
      3. menetapkan tim atau tenaga ahli pemberi penjelasan teknis (aanwijzer) untuk membantu pelaksanaan tugas ULP; dan
      4. menetapkan besaran Uang Muka yang akan dibayarkan kepada Penyedia Barang/Jasa.
Mari kita lihat satu persatu sebagian tugas pokok dan kewenangan tersebut serta apa saja yang harus diperhatikan.
Menetapkan Rencana Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
PPK tidak bekerja pada akhir pengadaan. PPK sudah mulai bekerja sejak
perencanaan pengadaan. Hal ini karena PPK adalah orang yang paling
mengetahui tentang barang/jasa yang akan diadakan.
Oleh sebab itu, apabila terjadi kesalahan pada proses pengadaan
barang/jasa yang disebabkan karena kesalahan perencanaan, maka PPK juga
bertanggung jawab terhadap hal tersebut.
Tanggung jawab PPK pada tahap perencanaan adalah:
  1. Spesifikasi Teknis Barang/Jasa

    Ini adalah hal yang krusial, karena spesifikasi merupakan dasar dalam
    proses pengadaan barang/jasa. Setiap penawaran dari penyedia barang/jasa
    harus memenuhi spesifikasi teknis yang telah ditentukan dalam dokumen
    pengadaan.

    Yang menjadi permasalahan adalah, luasnya ruang lingkup pengadaan
    barang/jasa dan dibandingkan dengan ruang lingkup pengetahuan PPK.
    Seorang PPK harus memahami spesifikasi teknis pengadaan barang,
    pekerjaan konstruksi, jasa konsultansi, dan jasa lainnya. Seorang PPK
    tidak bisa berlindung dibalik tim teknis atau tim pendukung yang
    menyiapkan spesifikasi teknis. Seorang PPK tidak bisa berlindung dibalik
    konsultan perencana dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi.

    Walaupun sebagian kegiatan perencanaan memang harus diserahkan kepada
    ahlinya, namun pokok pokiran serta inti dari spesifikasi tetap harus
    dipahami oleh PPK.

    PPK tidak boleh berucap “saya lulusan sosial, jadi tidak paham
    bangunan.” Apabila ditemukan kesalahan perencanaan konstruksi, maka oleh
    penyidik atau pemeriksa tetap akan diminta pertanggungjawabannya.

    Disini dituntut keluasan pengetahuan dan pengalaman dari seorang PPK.
  2. Harga Perkiraan Sendiri (HPS)

    Kasus yang paling banyak menimpa pelaksanaan pengadaan barang/jasa
    adalah kasus markup dan salah satu penyebabnya terletak pada penyusunan
    HPS.

    Menyusun HPS membutuhkan keahlian tersendiri, selain harus memahami
    karakteristik spesifikasi barang/jasa yang akan diadakan, juga harus
    mengetahui sumber dari barang/jasa tersebut. Harga barang pabrikan tentu
    saja berbeda dengan harga distributor apalagi harga pasar. Juga
    perhitungan harga semen serta batu kali dan besi beton akan mempengaruhi
    total harga secara keseluruhan.

    Yang paling sering terjadi, entah karena kesengajaan atau karena
    ketidaktahuan, PPK menyerahkan perhitungan HPS kepada penyedia
    barang/jasa atau malah kepada broker bin makelar yang melipatgandakan
    harga tersebut untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok.

    PPK langsung mengambil harga tersebut tanpa melakukan cek and recheck lagi. Akibatnya pada saat pengadaan selesai dan dilakukan pemeriksanaan oleh aparat hukum, ditemukan mark up harga dan mengakibatkan kerugian negara.

    Lagi-lagi karena ketidaktahuan dan keinginan kerja cepat dan tidak teliti menjerumuskan PPK ke ranah hukum.
  3. Rancangan kontrak.

    Kontrak merupakan ikatan utama antara penyedia dengan PPK. Draft kontrak
    seyogyanya berisi hal-hal yang harus diperhatikan oleh penyedia sebelum
    memasukkan penawaran. Karena dari draft kontrak inilah akan ketahuan
    ruang lingkup pekerjaan, tahapan, hal-hal yang harus diperhatikan
    sebelum memulai pekerjaan, bagaimana proses pemeriksaan dan serah
    terima, serta hal-hal lain yang dapat mempengaruhi nilai penawaran
    penyedia.

    Draft kontrak bukan sekedar lembaran-lembaran kertas. Ada beberapa jenis
    kontrak yang harus diketahui dan dipahami oleh PPK. Apa  dan kapan
    harus menggunakan kontrak lumpsum, kontrak harga satuan, gabungan
    lumpsum dan harga satuan, kontrak persentase, kontrak terima jadi,
    kontrak tahun tunggal, kontrak tahun jamak, kontrak pengadaan tunggal,
    kontrak pengadaan bersama, kontrak payung (framework contract), kontrak pengadaan pekerjaan tunggal, dan kontrak pengadaan pekerjaan terintegrasi.

    Itu baru dari sisi jenis kontraknya. Belum membahas mengenai
    syarat-syarat umum dan syarat-syarat khusus kontrak. Perlakuan terhadap
    pekerjaan yang bersifat kritis juga harus berbeda dengan perlakukan
    pekerjaan rutin. Bahkan untuk pekerjaan yang dilaksanakan menjelang
    akhir tahun anggaran harus memperhatikan klausul denda, batas akhir
    pekerjaan, dan pembayaran, khususnya apabila pekerjaan melewati batas
    pembayaran KPPN.
Ini semua baru penjelasan untuk tugas pokok pertama lho 😀
Menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ)

PPK tidak serta merta menerbitkan SPPBJ setelah pelaksanaan
pelelangan. PPK punya hak untuk tidak sependapat atas penetapan pemenang
yang telah dilakukan oleh panitia.
Dasar SPPBJ adalah Berita Acara Hasil Pelelangan (BAHP) yang berarti PPK wajib memahami isi dari BAHP.
Memahami isi dari BAHP apalagi berani menolak penetapan panitia
berarti PPK wajib memiliki pengetahuan terhadap proses
pelelangan/seleksi yang telah dilakukan oleh panitia. Artinya, selain
kemampuan manajerial, PPK wajib mengetahui proses pengadaan barang/jasa
secara utuh dan lengkap tahap demi tahap serta memahami hal-hal apa saja
yang dievaluasi oleh panitia serta kelemahan-kelemahannya.
Inilah sebabnya, PPK wajib memiliki sertifikat keahlian pengadaan
barang/jasa. Bukan sekedar selembaran kertas belaka, tetapi PPK wajib
mengetahui proses pengadaan barang/jasa secara detail agar dapat
menjalankan fungsi check and recheck terhadap kerja panitia dan mampu untuk menolak usulan pemenang dari panitia.
Apabila PPK tidak memiliki pengetahuan dalam bidang pengadaan
barang/jasa, maka PPK cenderung hanya menjadi “tukang stempel” terhadap
hasil panitia pengadaan barang/jasa.
Menandatangani Kontrak
Kontrak adalah ikatan antara dua atau lebih pihak yang isinya mengikat kepada seluruh pihak yang menandatangani.
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) menyebutkan:
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;


  1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  3. Suatu pokok persoalan tertentu;
  4. Suatu sebab yang tidak terlarang.
PPK harus memperhatikan hal ini, karena apabila salah satu dari 4 hal
tersebut tidak terpenuhi, maka penandatanganan kontrak menjadi tidak
sah.
Sebelum penandatanganan, PPK harus yakin bahwa yang mewakili penyedia
adalah benar-benar direktur atau kuasa direktur yang nama penerima
kuasa ada dalam akta atau pejabat yang menurut anggaran dasar perusahaan
berhak untuk mengikat perjanjian. Para pihak juga dalam kondisi sah
untuk mengikat perjanjian, pokok perjanjiannya jelas dan tidak ada
hal-hal yang melanggar hukum, baik perdata maupun pidana, dalam isi
perjanjian.
Inilah pentingnya sebelum pelaksanaan penandatanganan kontrak, PPK
melaksanakan rapat persiapan terlebih dahulu agar penandatanganan
kontrak tidak sekedar seremonial belaka melainkan dipahami dan nantinya
dapat dilaksanakan oleh para pihak.
Melaksanakan Kontrak dengan Penyedia Barang/Jasa dan Mengendalikan Pelaksanaan Kontrak.

Kontrak adalah dokumen yang memiliki kekuatan hukum serta mengikat
para pihak. Namun, terkadang karena kesibukan secara struktural, PPK
hanya menandatangani dan melupakan pelaksanaannya.
Penyedia barang/jasa dibiarkan bekerja seenak mereka atau hanya
memasrahkan pengawasan pelaksanaan pekerjaan pada konsultan pengawas.
Mereka lupa, bahwa pelaksanaan pekerjaan adalah tanggung jawab PPK.
Apabila terjadi permasalahan, sering dibiarkan begitu saja dan baru
kalang kabut apabila pekerjaan telah selesai atau mengalami hambatan.
Ini yang sering terjadi pada pekerjaan konstruksi, khususnya apabila
pelaksanaan pekerjaan tersebut dilaksanakan pada akhir tahun anggaran.
Sudah menjadi aturan baku, bahwa tahun anggaran berakhir 31 Desember
bagi pekerjaan yang dilaksanakan berdasarkan kontrak tahun tunggal. Tapi
baru kalang kabut akhir Desember setelah melihat pekerjaan belum
selesai 100% bahkan tidak dapat diselesaikan tepat tanggal 31 Desember.
Malah sebagian kasus, baru pusing setelah masuk bulan Januari.
Keterlambatan pekerjaan tidak terjadi begitu saja dan tidak terjadi
hanya dalam semalam. Sejak awal, setiap keterlambatan telah dapat
dideteksi. Seharusnya, apabila ada gejala-gejala awal keterlambatan,
misalnya material yang seharusnya sudah masuk belum tiba, atau curah
hujan yang terjadi diluar perkiraan, maka dapat dilakukan tindakan
pencegahan dan langkah-langkah penanggulangan.
Apabila setelah dicoba ditanggulangi tetap tidak dapat teratasi, maka
klausul kontrak kritis dapat diberlakukan. Lagi-lagi, khusus klausul
kontrak kritis sudah harus dipersiapkan pada saat perencanaan atau
penyusunan draft kontrak.
Namun, alangkah banyak PPK yang setelah menandatangani kontrak
seakan-akan melupakan adanya sebuah pekerjaan yang berada dibawah
tanggungjawabnya. Malah ada yang baru turun ke lokasi proyek pembangunan
gedung kalau atasannya hendak berkunjung. Sehingga, saat menghadapi
masalah menjadi gelagapan dan kebingungan.
PPK wajib memiliki kemampuan untuk membaca time shedule dan
berbagai jenis bentuk dan mekanisme kontrol pekerjaan. Bisa berupa kurva
S atau bentuk diagram lainnya. Pemahaman terhadap aplikasi project
(seperti MS Project) adalah nilai plus.
Melaporkan pelaksanaan/penyelesaian Pengadaan Barang/Jasa dan
kemajuan pekerjaan termasuk penyerapan anggaran dan hambatan
pelaksanaan pekerjaan kepada PA/KPA setiap triwulan

Melaporkan pelaksanaan pekerjaan ini tidak sekedar membuat laporan
Asal Bapak Senang (ABS). PPK juga harus mampu melaporkan kesesuaian
antara kontrak yang ditandatangani dengan pelaksanaan pekerjaan.
Selain kemajuan fisik, yang sering ditanyakan oleh PA/KPA adalah
kemajuan daya serap anggaran serta kendala yang dihadapi pada saat
pelaksanaan.
Yang harus diingat, setiap kendala merupakan tugas yang harus
diselesaikan oleh PPK, sehingga setiap laporan terhadap kendala harus
dibarengi dengan laporan rencana penyelesaian terhadap kendala tersebut.
Menyerahkan hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA dengan Berita Acara Penyerahan
Salah satu temuan yang paling sering terjadi adalah pengadaan barang/jasa fiktif.
Hal ini terjadi karena PPK tidak cermat dalam melihat barang/jasa
yang diadakan. Hasil pekerjaan yang diserahkan oleh penyedia barang/jasa
diterima bulat-bulat dan tidak melakukan prinsip check and recheck
Karena tidak memahami jenis barang/jasa yang diadakan, PPK biasanya menerima dokumen apapun yang disodorkan oleh penyedia.
Walaupun ada panitia penerima hasil pekerjaan atau ada konsultan
pengawas, penanggung jawab pekerjaan tetap berada di tangan PPK,
sehingga pemeriksaan atas barang/jasa yang telah diadakan tetap mutlak
dilakukan oleh PPK sebelum diserahkan kepada PA/KPA.
Penyerahan hasil pekerjaan tidak sekedar menyerahkan secara fisik,
melainkan harus menyerahkan sesuai dengan fungsi dan kemampuan yang
telah ditetapkan dalam dokumen pengadaan serta dokumen kontrak. Oleh
sebab itu, pada saat pengujian, PPK harus bisa memastikan setiap
spesifikasi sesuai dengan yang telah ditetapkan dan alat/barang
berfungsi sesuai ketentuan.
Nah, dari tulisan ini telah jelas beberapa tugas pokok dan fungsi PPK
dan jelas bahwa tugas PPK tidak sekedar tanda tangan kontrak.
Oleh sebab itu, bagi SKPD  yang tidak mengangkat PPK, karena
mengikuti Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 21 Tahun
2011, pastikan PA/KPA memahami tugas pokok dan fungsi dari PPK.
Karena, apabila PA/KPA bertindak selaku PPK, maka tugas pokok PPK juga melekat pada mereka.



Solusi Akhir Tahun dalam Pelaksanaan Kontrak PBJ

Salah satu “kehebohan” yang biasa terjadi pada akhir tahun anggaran
adalah pelaksanaan pekerjaan yang tidak dapat diselesaikan pada akhir
tahun.
Yang menjadi permasalahan utama, pelaksanaan pekerjaan untuk kontrak
tahun tunggal tidak boleh melewati tahun anggaran. Belum lagi KPPN hanya
melayani pembayaran maksimal pada tanggal 20 Desember.
Menyikapi hal tersebut, khususnya untuk pekerjaan yang tidak dapat
diselesaikan pada tanggal 31 Desember, dilakukan salah satu dari 3
kemungkinan yaitu:
  1. Memutuskan kontrak secara sepihak sejak tanggal 31 Desember dan menyatakan penyedia wanprestasi
  2. Melanjutkan pekerjaan pada tahun anggaran berikutnya namun penyedia
    wajib menyerahkan jaminan pembayaran senilai pekerjaan yang belum
    diselesaikan. Hal ini telah dituliskan oleh pak Agus Kuncoro (Guskun)
    melalui tulisan pada laman http://www.guskun.com/blog/pengadaan/84-pilihan-seorang-ppk-bagi-negara-nya
  3. Memalsukan Berita Acara Serah Terima (BAST) seakan-akan pekerjaan
    telah selesai pada tanggal 20 Desember, namun menahan anggarannya sampai
    pekerjaan selesai dilaksanakan pada rekening penampungan tertentu.
Yang mengkhawatirkan, banyak terjadi kasus yang diakibatkan pilihan
ke 3 di atas, karena rawan terhadap penyimpangan serta kalau ada
pemeriksaan sudah dapat dipakstikan menjadi temuan.
Namun, tanggal 7 Februari 2012, Menteri Keuangan telah menetapkan
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 25/PMK.05/2012 tentang
Pelaksanaan Sisa Pekerjaan Tahun Anggaran Berkenaan Yang Dibebankan Pada
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran Berikutnya.
Ini merupakan angin segar terhadap pelaksanaan pekerjaan tersebut,
walaupun terlambat,  agar tidak terjadi lagi BEST palsu bertebaran
dimana-mana.
Beberapa hal pokok dalam PMK tersebut adalah:
  1. Pekerjaan yang tidak dapat diselesaikan hingga akhir tahun dapat
    dilanjutkan pekerjaannya pada tahun anggaran berikutnya namun tidak
    termasuk sebagai kontrak tahun jamak (Multiyears);
  2. Pekerjaan yang dilanjutkan pada tahun anggaran berikutnya tidak
    boleh menggunakan DIPA tahun pelaksanaan, melainkan harus menggunakan
    DIPA tahun berikutnya. Apabila anggaran belum tersedia maka harus
    melakukan revisi DIPA/Petunjuk Operasional Kegiatan (POK);
  3. Kontrak pekerjaan yang dilanjutkan pada tahun anggaran berikutnya
    harus diadendum untuk mencantumkan sumber anggaran tahun berikutnya atas
    sisa pekerjaan yang akan diselesaikan;
  4. Penyedia wajib membuat surat pernyataan kesanggupan menyelesaikan sisa pekerjaan yang ditujukan kepada KPA (bukan PPK) ;
  5. Penyedia tetap dikenakan denda keterlambatan sebesar 1/1000 x jumlah
    hari, maksimal 50 hari kalender sejak tanggal berakhirnya kontrak awal;
  6. Apabila setelah 50 hari penyedia tetap tidak dapat menyelesaikan
    pekerjaan, maka kontrak dihentikan dan dikenakan denda maksimum.

Masa Kontrak vs Masa Pelaksanaan Pekerjaan

Salah satu pertanyaan yang sering sulit dijawab oleh pelaksana
pengadaan barang/jasa adalah apa perbedaan antara masa kontrak dengan
masa pelaksanaan pekerjaan.
Sebagian besar jawaban yang sering disampaikan adalah keduanya sama
saja. Atau yang disebut dengan masa kontrak/masa berlakunya kontrak itu
sama dengan masa pelaksanaan pekerjaan.
Hal ini sering menjadi permasalahan khususnya pada akhir tahun
anggaran dalam hal pencairan pembayaran atau untuk perhitungan denda
pelaksanaan pekerjaan.
Apakah benar bahwa masa kontrak itu sama dengan masa pelaksanaan
pekerjaan? Apabila iya, maka beberapa ilustrasi di bawah ini mungkin
dapat menjadi renungan.
  1. Seperti yang kita ketahui, bahwa kontrak itu dimulai sejak
    ditandatangani. Sedangkan pelaksanaan pekerjaan dimulai sejak
    dikeluarkannya Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK). Apabila SPMK
    dikeluarkan beberapa hari setelah kontrak ditandatangani, maka akan ada
    waktu kosong antara tanggal penandatanganan kontrak dengan SPMK. Apabila
    kita beranggapan bahwa masa kontrak = masa pelaksanaan pekerjaan,
    artinya sejak kontrak ditandatangani hingga SPMK, tidak ada kontrak
    disana. Ini jelas tidak mungkin.
  2. Khusus untuk pekerjaan konstruksi, serah terima pekerjaan dilakukan
    sebanyak 2 kali, yaitu serah terima pertama (PHO) dan serah terima akhir
    (FHO) setelah dilakukan pemeliharaan. Untuk menjamin penyedia
    barang/jasa melaksanakan pemeliharaan, maka diwajibkan jaminan
    pemeliharaan atau retensi sebesar 5% dari nilai kontrak. Apabila
    penyedia barang/jasa tidak melaksanakan pemeliharaan, maka jaminan atau
    retensi  ini disita dan dicairkan ke kas negara/daerah. Ketentuan
    pencairan ini tertuang dalam kontrak. Apabila masa kontrak = masa
    pelaksanaan pekerjaan, maka tentu saja setelah serah terima pertama,
    kontrak sudah dinyatakan tidak berlaku karena masa berlakunya telah
    selesai sehingga penyedia tidak terikat lagi pada kontrak tersebut. Hal
    ini berarti penyedia yang tidak melaksanakan pemeliharaan tidak dapat
    dihukum atau dikenakan sanksi sesuai ketentuan dalam kontrak.
  3. Penyedia barang/jasa yang tidak dapat menyelesaikan pekerjaan hingga
    masa pelaksanaan pekerjaan berakhir, dapat tetap melanjutkan pekerjaan
    dengan dikenakan sanksi denda keterlambatan. Bahkan PPK dapat memutuskan
    kontrak apabila penyedia telah diberikan kesempatan selama 50 hari
    kalender namun tetap tidak mampu menyelesaikan pekerjaan. Apabila masa
    kontrak = masa pelaksanaan pekerjaan, maka setelah masa pelaksanaan
    pekerjaan berakhir, kontrak akan putus dengan sendirinya sehingga
    penyedia barang/jasa yang terlambat dalam melaksanakan pekerjaan tidak
    memiliki dasar untuk dikenakan denda keterlambatan. Hal ini karena
    klausul denda tersebut tertuang pada kontrak yang sudah tidak berlaku
    lagi.
Dari ketiga ilustrasi tersebut jelas bahwa masa kontrak tidak sama dengan masa pelaksanaan pekerjaan.
Kemudian, apa yang dimaksud dengan masa kontrak?
Dalam setiap standar dokumen pengadaan  yang resmi dikeluarkan oleh
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) melalui
Peraturan Kepala (Perka) LKPP Nomor 15 dan 18 Tahun 2012  pada
Syarat-Syarat Umum Kontrak (SSUK), Bagian A, 1, Klausul 1.24 telah
disebutkan bahwa “Masa Kontrak adalah jangka waktu
berlakunya kontrak ini terhitung sejak tanggal kontrak ditandatangani
sampai dengan masa pemeliharaan berakhir
.”
Hal ini jelas bahwa masa kontrak tidak sekedar masa pelaksanaan
pekerjaan. Masa pelaksanaan pekerjaan merupakan bagian dari masa
kontrak.
Hal ini dapat dilihat secara jelas pada gambar di bawah:
kontrak
Setiap Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) harus memperhatikan ketentuan
ini yang harus diisi pada Syarat-Syarat Khusus Kontrak (SSKK), karena
kesalahan dalam menuliskan masa kontrak dapat menyebabkan para pihak
menjadi tidak terikat lagi dalam ketentuan perjanjian sehingga setiap
implikasi dari pelanggaran kontrak tidak dapat dibebankan kepada para
pihak yang terlibat.
Khusus untuk pekerjaan kontruksi, masa kontrak dapat melewati tahun
anggaran apabila masa pemeliharaan juga melewati tahun anggaran.
Misalkan sebuah pekerjaan kontraksi selesai pada bulan Nopember 2013 dan
membutuhkan pemeliharaan selama 3 bulan, maka masa kontraknya berakhir
pada bulan Februari 2014.
Ini bukanlah kontrak tahun jamak, karena pengertian kontrak tahun
jamak berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 dan
Perubahannya, Pasal 52 Ayat 2 adalah kontrak yang pelaksanaan pekerjaannya untuk masa lebih dari 1 (satu) tahun anggaran, bukan yang masa kontraknya lebih dari 1 tahun anggaran.
Hal lain yang harus diperhatikan berkenaan dengan masa kontrak dengan
masa pelaksanaan pekerjaan adalah mengenai keterlambatan pelaksanaan
pekerjaan.
Yang dimaksud dengan keterlambatan sehingga penyedia dikenakan sanksi
denda keterlambatan adalah pelaksanaan pekerjaan yang melewati batas
akhir pelaksanaan pekerjaan. PPK harus memperhatikan batas waktu kontrak
apabila terjadi keterlambatan pekerjaan, karena setiap keterlambatan
akan mengakibatkan mudurnya masa pemeliharaan pekerjaan (khusus untuk
pekerjaan konstruksi). Untuk memperhatikan hal ini maka PPK perlu
melakukan adendum kontrak dengan menambah masa kontrak, bukan dengan
menambah waktu pelaksanaan pekerjaan.
Apabila PPK menambah waktu pelaksanaan pekerjaan dengan alasan
penyedia terlambat, maka tentu saja penyedia itu tidak terlambat lagi,
karena batas waktu peneyelesaian pekerjaannya turut mundur dan
disesuaikan dengan batas waktu baru yang telah diadendum oleh PPK.
Karena tidak terlambat, maka tidak dapat dikenakan denda keterlambatan.
Khusus untuk akhir tahun anggaran, masa pelaksanaan pekerjaan tidak
dimungkinkan untuk diadendum melebihi akhir tahun anggaran yaitu 31
Desember karena akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pekerjaan.
Tulisan mengenai ini sudah saya bahas juga pada artikel Putuskan saja (SEMUA) kontrak akhir tahun.
Akhir tulisan, perlu diperhatikan mengenai perbedaan antara masa
kontrak dengan masa pelaksanaan pekerjaan karena implikasi hukum perdata
terhadap ketidakpahaman ini dapat berakibat fatal di kemudian hari.

Juknis Perpres Nomor 4 Tahun 2015 menggunakan Aplikasi SPSE

Sejak diundangkannya Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 4 Tahun 2015 yang merupakan Perubahan keempat Perpres
Nomor 54 Tahun 2010, maka pertanyaan yang paling banyak diajukan adalah
belum sesuainya antara aplikasi SPSE yang ada saat ini (SPSE Versi 3.5)
dengan peraturan tersebut. Beberapa hal yang menjadi ganjalan adalah:
  1. Ketentuan lelang tidak gagal apabila yang memasukkan penawaran kurang dari 3
  2. Ketentuan tidak adanya sanggahan prakualifikasi
  3. Ketentuan Seleksi Sederhana menggunakan Pascakualifikasi
  4. Ketentuan bahwa e-purchasing dapat dilakukan oleh Pejabat Pengadaan dan/atau PPK
Sehubungan dengan hal tersebut, maka
LKPP pada tanggal 4 Februari 2015 telah mengeluarkan surat nomor
311/D-II.3/02/2015 tentang Petunjuk Teknis Peraturan Presiden Nomor 4
Tahun 2015 menggunakan Aplikasi SPSE yang ditujukan kepada Pada Kepala
LPSE.
Surat Juknis Perpres 4/2015





Silakan mengunduh file tersebut dari tautan Petunjuk Teknis (Juknis) Perpres Nomor 4 Tahun 2015 melalui Aplikasi SPSE





Khalid Mustafa

Hapuskan Persyaratan Pajak 3 Bulan Terahir Pada Dokumen Pengadaan

Perpres Nomor 4 Tahun 2015 tentang
Perubahan ke 4 Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah membuat beberapa perubahan yang cukup signifikan yang
bertujuan untuk percepatan dan kemudahan pelaksanaan pengadaan
barang/jasa pemerintah.
Salah satu poin penting pada Perpres ini
adalah Pasal I angka 3 yang mengubah ketentuan Pasal 19 Ayat (1) huruf l
yang sebelumnya bertuliskan:
“sebagai wajib pajak sudah memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah memenuhi kewajiban perpajakan
tahun terakhir (PPTK Tahunan) serta memiliki laporan bulanan PPh Pasal
21, PPh Pasal 23 (bila ada transaksi), PPh Pasal 25/Pasal 29 dan PPN
(bagi Pengusaha Kena Pajak) paling kurang 3 (tiga) bulan terakhir dalam
tahun berjalan.”
berubah menjadi:
“memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah memenuhi kewajiban perpajakan tahun terakhir.”
Hal ini berarti ketentuan perpajakan
yang tercantum dalam dokumen pengadaan maupun persyaratan yang tertulis
pada Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) tidak boleh lagi
mempersyaratkan laporan bulanan pajak 3 bulan terakhir.
Ini memang merupakan kemajuan yang cukup
berarti, karena alangkah banyaknya penawaran yang digugurkan dengan
alasan tidak memenuhi ketentuan pajak 3 bulan terakhir.
Ini tidak sepenuhnya kesalahan penyedia
saja, melainkan beberapa pokja yang tidak mengetahui ketentuan
perpajakan. Salah satunya adalah ketentuan batas akhir pembayaran dan
pelaporan SPT Masa. Masih banyak Pokja yang mempersyaratkan laporan
pajak bulan sebelumnya padahal pemasukan penawaran dibawah tanggal 20.
Aturan perpajakan menetapkan batas akhir pelaporan adalah tanggal 20
sehingga apabila sebelum tanggal 20 maka penyedia belum memiliki laporan
bulanan pajak bulan sebelumnya.
Salah satu permasalahan yang terjadi
adalah perubahan persyaratan perpajakan yaitu penambahan Pasal 4 ayat 1
dan ayat 2 yang tidak tertuang dalam Perpres 54/2010 dan perubahannya.
Yang terjadi adalah digugurkannya penyedia yang tidak memasukkan bukti
lapor Pasal 25/29 padahal penyedia sudah melaporkan pajak Pasal 4.
Dengan dihapuskannya persyaratan ini,
maka kebingungan mengenai pasal-pasal perpajakan dapat dihindari.
Apalagi ke depannya akan dikembangkan Informasi Kinerja Penyedia yang
akan menilai kinerja seluruh penyedia berbasis elektronik, sehingga
dokumen kualifikasi tidak perlukan lagi dalam pengadaan barang/jasa.
Perlu diketahui, Perpres ini berlaku
sejak ditetapkan, yaitu tanggal 16 Januari 2015, sehingga diharapkan
seluruh Pokja untuk menyesuaikan dokumen pengadaan yang saat ini sedang
disusun atau yang akan dilaksanakan pada tahun ini.

Apakah Metode Pengadaan Langsung dapat digunakan untuk Pengadaan Barang yang menambah aset ?

Salah satu
pertanyaan yang sering muncul di blog ini atau di Facebook saya adalah
“Apakah metode pengadaan langsung dapat digunakan untuk pengadaan barang
yang menambah aset ?”
Pertanyaan ini muncul karena melihat isi Pasal 39 Ayat 1 Perpres 54/2010 yang berbunyi:
Pengadaan
Langsung dapat dilakukan terhadap Pengadaan Barang/Pekerjaan
Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dengan ketentuan sebagai berikut:



  1. merupakan kebutuhan operasional K/L/D/I;
  2. teknologi sederhana;
  3. risiko kecil; dan/atau
  4. dilaksanakan
    oleh Penyedia Barang/Jasa usaha orang- perseorangan dan/atau badan
    usaha kecil serta koperasi kecil, kecuali untuk paket pekerjaan yang
    menuntut kompetensi teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh Usaha Mikro,
    Usaha Kecil dan koperasi kecil.
Kemudian kalau melihat Penjelasan Perpres 54/2010 Pasal 39 Ayat 1 Huruf a:
Yang dimaksud dengan kebutuhan operasional K/L/D/I adalah kebutuhan rutin K/L/D/I dan tidak menambah aset atau kekayaan K/L/D/I.
Kalimat
penjelasan inilah yang kemudian membuat sebagian panitia/ULP menarik
kesimpulan bahwa Pengadaan Langsung tidak dapat digunakan untuk
mengadakan barang yang dapat menambah aset atau kekayaan K/L/D/I
Apakah benar demikian ?
Mari kita cermati aturan ini dengan seksama :)
Dalam
melihat sebuah aturan atau produk hukum, kita tidak boleh hanya melihat
dari satu kalimat saja, melainkan harus melihat secara keseluruhan
termasuk semua tanda baca dan kata penghubung yang digunakan, karena
dari hal-hal tersebut makna sebuah kalimat atau pasal dapat berubah
secara drastis.
Oleh sebab
itu, mari kembali melihat Pasal 39 Ayat 1 Perpres 54/2010 yang saya
gabungkan dengan pengertian kebutuhan operasional sesuai Penjelasan
Perpres 54/2010.
Pengadaan
Langsung dapat dilakukan terhadap Pengadaan Barang/Pekerjaan
Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dengan ketentuan sebagai berikut:



  1. merupakan kebutuhan operasional K/L/D/I (kebutuhan rutin K/L/D/I dan tidak menambah aset atau kekayaan K/L/D/I);
  2. teknologi sederhana;
  3. risiko kecil; DAN/ATAU
  4. dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa usaha orang- perseorangan DAN/ATAU
    badan usaha kecil serta koperasi kecil, kecuali untuk paket pekerjaan
    yang menuntut kompetensi teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh Usaha
    Mikro, Usaha Kecil dan koperasi kecil.
Coba lihat kata DAN/ATAU pada huruf c dan d di atas.
Pengertian
DAN/ATAU menurut Bahasa Indonesia adalah pilihan penggunaan kata
penghubung DAN atau kata penghubung ATAU. Artinya, kita bisa memilih
apakah hendak menggunakan DAN atau menggunakan ATAU.
Pemilihan kata sambung ini amat berpengaruh terhadap pengertian dari Pasal 39.
Menurut Bahasa
Indonesia, kata DAN dan ATAU adalah kata penghubung koordinatif. Kata
DAN digunakan untuk menandai hubungan penambahan. Kata ATAU digunakan
untuk menandai hubungan pemilihan.
Mari sekarang
kita ubah kata penghubung dengan menggunakan kata DAN pada huruf c dan
menggunakan kata ATAU pada huruf d. Hal ini karena pada huruf d, tidak
bisa menggunakan 2 kondisi secara bersamaan.
Pengadaan
Langsung dapat dilakukan terhadap Pengadaan Barang/Pekerjaan
Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dengan ketentuan sebagai berikut:



  1. merupakan kebutuhan operasional K/L/D/I (kebutuhan rutin K/L/D/I dan tidak menambah aset atau kekayaan K/L/D/I);
  2. teknologi sederhana;
  3. risiko kecil; DAN
  4. dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa usaha orang- perseorangan ATAU
    badan usaha kecil serta koperasi kecil, kecuali untuk paket pekerjaan
    yang menuntut kompetensi teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh Usaha
    Mikro, Usaha Kecil dan koperasi kecil.
Apabila
menggunakan kata DAN pada huruf c, maka seluruh kondisi pada a, b, c,
dan c WAJIB ada untuk dapat melaksanakan Pengadaan Langsung. Artinya,
syarat untuk dapat melaksanakan pengadaan langsung selain nilainya di
bawah 100 Juta Rupiah adalah harus kebutuhan operasional yang merupakan
kebutuhan rutin dan tidak menambah aset, teknologinya sederhana,
resikonya kecil dan dilaksanakan oleh penyedia perseorangan atau badan
usaha kecil.
Sekarang, kita ganti kata penghubung pada huruf c dengan kata ATAU.
Pengadaan
Langsung dapat dilakukan terhadap Pengadaan Barang/Pekerjaan
Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dengan ketentuan sebagai berikut:



  1. merupakan kebutuhan operasional K/L/D/I (kebutuhan rutin K/L/D/I dan tidak menambah aset atau kekayaan K/L/D/I);
  2. teknologi sederhana;
  3. risiko kecil; ATAU
  4. dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa usaha orang- perseorangan ATAU
    badan usaha kecil serta koperasi kecil, kecuali untuk paket pekerjaan
    yang menuntut kompetensi teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh
    Usaha Mikro, Usaha Kecil dan koperasi kecil.
Apabila
menggunakan kata penghubung ATAU pada huruf c, maka kondisi a, b, c, dan
d merupakan pilihan. Salah satu kondisi WAJIB ada agar Pengadaan
Langsung dapat dilaksanakan. Artinya, syarat untuk melaksanakan
pengadaan langsung selain nilainya di bawah 100 Juta Rupiah adalah kebutuhan
operasional yang merupakan kebutuhan rutin dan tidak menambah aset
ATAU teknologinya sederhana ATAU resikonya kecil ATAU  dilaksanakan oleh
penyedia perseorangan atau badan usaha kecil.
Berdasarkan
paparan di atas, maka Metode Pengadaan Langsung dapat digunakan untuk
pengadaan barang yang menambah aset selama nilainya di bawah 100 juta
rupiah.
Catatan:
Sebelum ada
yang bertanya, saya sampaikan bahwa sampai tulisan ini di buat, SBD
Pengadaan Langsung belum dikeluarkan oleh LKPP, sehingga prosedur
pengadaan langsung belum saya tulis. Setelah keluar, akan saya susun
prosedur serta tahapannya

Apakah KTA KADIN dapat menjadi persyaratan pelelangan?

Pagi ini saya membaca pertanyaan yang
diajukan oleh salah seorang pembaca di page facebook saya yang intinya
menanyakan apakah Kartu Tanda Anggota (KTA) Kamar Dagang dan Industri
(KADIN) dapat dijadikan dasar untuk persyaratan pelelangan dan dapat
menggugurkan apabila tidak dipenuhi?
Pertanyaan ini juga pernah diajukan
beberapa bulan lalu melalui inbox FB saya dan setelah bolak balik tanya
jawab sang penanya tidak menjawab lagi permintaan saya untuk mengirimkan
surat edaran kepala daerah yang mewajibkan hal ini.
Untuk memperjelas hal tersebut, maka dibawah ini adalah uraian dan pendapat saya.
Persyaratan penyedia barang/jasa
pemerintah diatur dalam Pasal 19 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54
Tahun 2010 dan Perubahannya.
Khusus persyaratan ijin usaha, diatur dalam Pasal 19 Angka 1 Huruf a
Perpres Nomor 54 Tahun 2010 dan perubahannya yang berbunyi “memenuhi
ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjalankan kegiatan
usaha.”
Hal ini berarti setiap persyaratan mengenai ijin usaha yang
ditetapkan oleh Kelompok Kerja (Pokja) Unit Layanan Pengadaan (ULP)
wajib didasarkan kepada peraturan perundang-undangan.
Dasar hukum pembentukan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) adalah
Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri.
Pada Penjelasan Pasal 10 UU Nomor 1
Tahun 1987 disebutkan bahwa “Ketentuan pasal ini memberikan hak kepada
Kamar Dagang dan Industri untuk mengatur dirinya sendiri dalam hal
menentukan bentuk dan susunan organisasi, serta keanggotaan dan
lain-lainnya atas dasar musyawarah. Mengenai susunan organisasi dan
kedudukannya serta hubungan antara Kamar Dagang dan Industri pusat dan
daerah diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dengan
tetap memperhatikan ketentuan dalam Undang-undang ini, misalnya dalam
melakukan kegiatan harus tetap memperhatikan ketentuan Pasal 7. Mengenai
keanggotaan, dalam Anggaran Dasar diatur, antara lain, jenis dan
kedudukan serta hak dan kewajiban, termasuk dalam kaitannya dengan
peranan organisasi pengusaha dan/atau organisasi perusahaan. Kamar
Dagang dan Industri sebagai wadah pengusaha hendaklah benar-benar dapat
dirasakan dukungan dan manfaatnya secara umum bagi para anggotanya dan
sebaliknya dukungan aktif para anggota merupakan faktor yang penting
bagi Kamar Dagang dan Industri. Oleh karena itu, mengenai keanggotaan diserahkan sepenuhnya kepada pertimbangan pengusaha Indonesia yang bersangkutan.”
Penjelasan pasal ini jelas menyebutkan
bahwa bentuk keanggotaan KADIN adalah bersifat sukarela dan diserahkan
sepenuhnya kepada pertimbangan pengusaha itu sendiri, sehingga tidak
diperbolehkan adanya kewajiban menjadi anggota KADIN melainkan atas
dasar manfaat bagi calon anggota itu sendiri.
Memang hal ini menjadi rancu dengan
munculnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2010 yang
mewajibkan seluruh pengusaha Indonesia menjadi anggota KADIN dan
mendaftar pada KADIN. Rancunya adalah, Keppres Nomor 17 Tahun 2010 ini
merupakan persetujuan Perubahan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah
Tangga (ART) KADIN.
AD dan ART sebenarnya merupakan aturan
internal sebuah organisasi, sehingga hanya mengikat kepada anggota yang
terdaftar pada organsiasi tersebut, tidak mengikat kepada pengusaha yang
tidak terdaftar dalam sebuah organisasi. Sehingga pengenaan ketentuan
kewajiban kepada seluruh pengusaha ini sebenarnya tidak sesuai dengan
semangat Pasal 10 UU Nomor 1 Tahun 1987.
Dari segi hukum, Keppres juga tidak
termasuk dalam peraturan perundang-undangan sesuai ketentuan UU Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hirarki
peraturan perundang-undangan dimulai dari yang paling tinggi hingga
paling rendah adalah: UUD 1945, Ketetapan MPR, UU/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden
(Perpres), Peraturan Daerah (Perda) Provinsi, dan Perda Kabupaten/Kota.
Mengenai persyaratan dalam pelelangan,
Pasal 5 Perpres Nomor 54 Tahun 2010 dan perubahannya menegaskan bahwa
salah satu prinsip dasar pengadaan barang/jasa adalah terbuka, bersaing,
dan adil/tidak diskriminatif. Dengan mempersyaratkan KTA KADIN dalam
proses pelelangan, hal ini dapat menciderai prinsip tersebut.
Pokja ULP juga tidak diperbolehkan
menambah persyaratan yang bersifat diskriminatif serta diluar ketentuan
yang tercantum dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010 dan perubahannya sesuai
ketentuan pada Pasal 56 Angka 10.
Apabila persyaratan tersebut didasarkan
oleh surat edaran atau peraturan kepala daerah, maka surat edaran atau
peraturan tersebut telah melanggar ketentuan Pasal 129 Angka 3 yang
berbunyi “Pengaturan Pengadaan Barang/Jasa yang dibiayai APBD, apabila
ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah/Keputusan Kepala Daerah/Pimpinan
Institusi Pengguna APBD, harus tetap berpedoman serta tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan Peraturan Presiden ini.”
Mari dalam pelelangan kita fokus saja
terhadap pemenuhan penyediaan barang/jasa yang dibutuhkan. Jangan
menambah-nambah persyaratan yang tidak berkorelasi langsung terhadap
tujuan pengadaan barang/jasa pemerintah. Persyaratan kualifikasi sudah
mencukupi dengan Pasal 19 Perpres 54 Tahun 2010 dan Perubahannya, tidak
perlu menambah aturan-aturan lain lagi yang tujuannya mempersulit
penyedia untuk memasukkan penawaran, atau titipan dari oknum tertentu
untuk mengatur proses pelelangan agar hanya dapat dipenuhi oleh penyedia
tertentu.

3 Hal Penyebab Menjadi Terpidana PBJ

Sudah lama tidak meninggalkan jejak pada blog ini dengan segudang alasan “klasik.” Salah satunya adalah “sibuk” :)
Namun, saat sedang menunggu jemputan di
Bandara menuju ke Makassar, tiba-tiba ada keinginan untuk menulis
beberapa hal yang ada di dalam kepala ini, salah satunya adalah
pengalaman menjadi beberapa kali pemberi keterangan ahli di persidangan
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Dalam berbagai berita acara yang saya
dalami dan diskusi selama proses pemeriksaan serta peradilan, bisa saya
simpulkan bahwa ada 3 hal yang menjadi penyebab seseorang tersandung
pada Tipikor khususnya dalam bidang pengadaan barang/jasa pemerintah.
3 hal itu adalah:
  1. Jahat
  2. Terpenjara Perintah Atasan
  3. Tidak Tahu
Dibawah ini adalah ulasannya:
Jahat
Kelompok ini adalah kelompok yang paling
membuat ulah dan masalah. Dalam pikiran mereka adalah mencari
keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa mempedulikan lagi yang benar dan
yang salah.
Setiap jabatan maupun kesempatan yang
dimiliki dianggap sebagai sebuah peluang untuk menambah pundi-pundi
kekayaan mereka. Seribu satu cara licik mereka gunakan untuk mengakali
hukum dan aparat penegak hukum.
Apabila mereka adalah anggota
legislatif, maka kekuasaan legislatif yang mereka miliki, khususnya hak
budgeting akan digunakan untuk memuaskan nafsu serakah mereka terhadap
harta. Memasukkan usulan anggaran “siluman,” memalsukan kebutuhan
masyarakat, memalsukan proposal untuk bantuan sosial, menekan eksekutif
untuk memenangkan perusahaan yang berada di bawah kendali mereka,
memeras pengusaha jujur untuk memberikan upeti, melobi berbagai pihak
untuk meningkatkan kapasitas yang nantinya akan diklaim sebagai
keberhasilan mereka yang harus dibarter dengan memenuhi kepentingan
jahat mereka, dan berbagai modus lain yang dapat mereka lakukan.
Apabila mereka adalah anggota eksekutif,
maka kekuasan negara yang mereka miliki dibelokkan untuk memenuhi
keinginan hawa nafsu atas harta benda dan kekayaan yang tak pernah
terpuaskan. Menggelapkan aturan perundang-undangan dengan prinsip kalau
bisa dipersulit kenapa harus dipermudah dan nantinya untuk mempermudah
mereka minta “biaya” tertentu sebagai pelicin, memerintahkan anak buah
untuk mengatur dan mengotak atik pengadaan dan persyaratan lelang,
memeras pengusaha yang jujur dengan berbagai alasan supaya dapat
menerima suap dan gratifikasi, menggelapkan proposal swakelola dengan
memasukkan unsur keluarga dan nepotisme di dalamnya, serta berbagai akal
bulus lainnya.
Apabila mereka adalah anggota yudikatif,
maka kekuasaan kehakiman yang berada di tangan mereka digunakan untuk
memeras para pihak yang berkasus dalam bidang PBJ untuk mengubah putusan
dan menjual hukuman pidana. Belum lagi kroni-kroni mereka yang menjadi
pengusaha maupun pengacara digunakan untuk mencari-cari kesalahan dan
memeras kesana kemari.
Apabila mereka adalah Pengusaha, maka
berlaku hukum “Keuangan yang maha kuasa.” Dengan fasilitas dan dana yang
melimpah, mereka mencoba untuk menambah lagi uang mereka yang kadang
sudah tidak berseri dengan cara-cara yang tidak benar. Sogokan, suapan,
gratifikasi, ancaman, pemerasan, menjadi makanan sehari-hari untuk
memenuhi hawa nafsu mereka terhadap harta yang hanya bisa dihentikan
dengan segumpal tanah.
Apabila mereka adalah Aparat Penegak
Hukum, maka kekuasaan penegakan hukum ditangan mereka digunakan untuk
mencari-cari kesalahan pelaku pengadaan yang nantinya ditukar dengan
janji tidak dilanjutkannya penyelidikan maupun penyidikan. Laporan
“angin lalu” ditelusuri, kalau tidak ada laporan, maka mencari-cari
informasi yang kadang hanya selentingan berita. Salah pengumuman lelang
bisa menjadi sebuah kesalahan yang setara dengan pidana mati. Surat
panggilan diobral yang nantinya berhenti hanya dengan beberapa lembar
kertas berwarna merah.
Mereka ini adalah kelompok yang pantas untuk dipidana seberat-beratnya.
Terpenjara Perintah Atasan.
Kelompok ini terbanyak berada pada
lingkup Pegawai Negeri Sipil, Pegawai BUMN/D, maupun pegawai swasta.
Ancaman mutasi ke daerah terpencil, kehilangan jabatan, dikucilkan dari
pergaulan, kehilangan tunjangan, dipecat dari pegawai,  menjadi senjata
ampuh untuk mengendalikan mereka.
Mereka bagaikan kerbau yang dicocok
hidungnya dan diarahkan kesana kemari oleh atasannya. Mata mereka
dibutakan oleh iming-iming jabatan, kesempatan, harta, maupun kepastian
nasib yang dijanjikan oleh orang yang sebenarnya sama mayanya dengan
mereka juga.
Patgulipat lelang, persyaratan yang aneh
bin ajaib (termasuk membuat pagar keliling kantor senilai 600 juta,
minta 10 orang bersertifikat SKA dan 15 orang bersertifikat SKT), jadwal
yang simsalabim (pengumuman hanya 1 hari), dokumen yang berasal dari
sumber antah berantah, menjadi makanan mereka sehari-hari.
Tidak kurang dari mereka yang
berpendidikan setinggi langit dengan gelar yang jauh lebih panjang dari
namanya, pengalaman puluhan tahun, sertifikat yang kalau dijilid bisa
mengalahkan novel Harry Potter, dan jam terbang dalam pengadaan yang
mengalahkan pilot yang profesional. Namun hal itu hanya menjadi abu di
atas kaca yang mudah dihilangkan dengan sapuan janji-janji.
Mereka tahu itu salah, tetapi tidak memiliki (kemauan) kemampuan untuk menghindari.
Mereka ini adalah orang-orang yang patut
dikasihani, karena sebenarnya mereka adalah tameng atau korban dari
golongan pertama. Mereka inilah sandal jepit yang diinjak-injak setiap
hari untuk melindungi kaki-kaki durjana yang menginjak-injak kebenaran.
Tidak Tahu
Yang terparah adalah, banyak yang tidak tahu bahwa mereka tidak tahu.
Saat disampaikan informasi, mereka tutup
telinga karena (mungkin) yang menyampaikan berada di bawah level
mereka. Atau menganggap itu tidak penting. Namun, saat terkena musibah,
barulah terlihat wajah melongo mereka. Tatapan memelas, mata yang merah
berair, raut penyesalan karena tidak belajar, bahasa tubuh lemas karena
pasrah adalah tanda-tanda umum saat bertemu dengan kelompok ini.
Ucapan “saya baru tahu pak,” “kalau tahu
begini saya tidak mau jadi PPK,” “kok tidak disampaikan sebelumnya,”
dan “saya menyesal baru tahu sekarang,” adalah kalimat-kalimat umum yang
mereka sampaikan saat menjadi terperiksa, tersangka, terdakwa, dan
bahkan saat jadi terpidana.
Mereka lupa bahwa yang namanya belajar
dan mencari tahu adalah fitrah manusia. Setiap jabatan, tindakan,
perbuatan pasti ada ilmu dan pengetahuannya. Menjadi seorang PA/KPA,
PPK, ULP, PPHP, Bendahara, Pengusaha, Anggota DPR/DPRD, APH, dll pasti
membutuhkan pengetahuan yang spesifik. Pasti ada rambu-rambu yang mana
boleh, tidak boleh, wajar, tidak wajar, wajib, sunnah, mubah, dll dll
yang harus diketahui.
Jabatan adalah amanah yang harus dijaga.
Untuk menjaganya, butuh segenap kemampuan dan pengetahuan yang
dimiliki, bukan sekedar dijadikan dasar untuk memperoleh keuntungan.
Belajar tidak mengenal usia, waktu,
kesempatan, dan alasan. Segala yang ada di sekeliling kita adalah ilmu
pengetahuan yang hanya dibatasi oleh keinginan.
Untuk golongan ini, jadikan setiap
kesempatan untuk terus belajar. Bahkan, kalau sudah terlanjur
terperosok, maka itu merupakan pembelajaran yang paling berharga.
Bukankah pengalaman adalah guru yang paling berharga khan?
Cukup dulu “cuap-cuap” hari ini semoga bermanfaat untuk kita semua

Jebakan Hukum Swakelola Rehabilitasi Sekolah

Beberapa hari lalu saya dibuat tercengang dengan berita pada laman
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) yang berjudul “Swakelola Rehabilitasi Sekolah Dinilai Lebih Baik.”
Yang membuat saya tercengang adalah, tulisan tersebut sama sekali
tidak mencantumkan dasar hukum apapun untuk mendukung pernyataan yang
tertulis. Tulisan tersebut juga mencantumkan beberapa pernyataan di
bawah ini:

  1. Mekanisme pembangunan ruang kelas lebih baik menggunakan sistem swakelola dibandingkan dengan proses tender;
  2. Sistem  swakelola dapat menghemat anggaran 25-30 persen;
  3. Dicontohkannya,  di SDN Kendayakan Kragilan, dengan dana
    rehabilitasi Rp196 juta untuk tiga lokal dapat menambah satu lokal untuk
    guru dan untuk sanitasi; dan
  4. Keuntungan lainnya adalah dapat menciptakan lapangan kerja.
Apakah benar pernyataan-pernyataan tersebut? Mari kita telaah.
Dasar Hukum
Pelaksanaan pengadaan rehabilitasi sekolah wajib mengacu pada Perpres
Nomor 54 Tahun 2010 karena anggaran yang digunakan adalah APBN. Hal ini
tertuang pada Pasal 2 Perpres 54/2010 yaitu “Pengadaan Barang/Jasa di
lingkungan K/L/D/I yang pembiayaannya baik sebagian atau seluruhnya
bersumber dari APBN/APBD.”
Khusus swakelola, dijelaskan pada Pasal 26 Ayat 1 Perpres 54/2010
yaitu “Swakelola merupakan kegiatan Pengadaan Barang/Jasa dimana
pekerjaannya direncanakan, dikerjakan dan/atau diawasi sendiri oleh
K/L/D/I sebagai penanggung jawab anggaran, instansi pemerintah lain
dan/atau kelompok masyarakat.”
Pada pasal ini dapat dilihat bahwa swakelola terdiri atas 3 jenis, yaitu:
  1. K/L/D/I sebagai penanggung jawab anggaran;
  2. Instansi Pemerintah Lain; atau
  3. Kelompok Masyarakat.
Persyaratan sebuah pekerjaan dapat diswakelolakan yang dituangkan dalam Pasal 26 Ayat 2 adalah:
  1. pekerjaan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan/atau
    memanfaatkan kemampuan teknis sumber daya manusia serta sesuai dengan tugas pokok K/L/D/I;
  2. pekerjaan yang operasi dan pemeliharaannya memerlukan partisipasi langsung masyarakat setempat;
  3. pekerjaan yang dilihat dari segi besaran, sifat, lokasi atau pembiayaannya tidak diminati oleh Penyedia Barang/Jasa;
  4. pekerjaan yang secara rinci/detail tidak dapat dihitung/ ditentukan
    terlebih dahulu, sehingga apabila dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa
    akan menimbulkan ketidakpastian dan risiko yang besar
  5. penyelenggaraan diklat, kursus, penataran, seminar, lokakarya atau penyuluhan;
  6. pekerjaan untuk proyek percontohan (pilot project) dan survei yang
    bersifat khusus untuk pengembangan teknologi/metode kerja yang belum
    dapat dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa;
  7. pekerjaan survei, pemrosesan data, perumusan kebijakan pemerintah, pengujian di laboratorium dan pengembangan sistem tertentu;
  8. pekerjaan yang bersifat rahasia bagi K/L/D/I yang bersangkutan;
  9. pekerjaan Industri Kreatif, inovatif dan budaya dalam negeri;
  10. penelitian dan pengembangan dalam negeri; dan/atau
  11. pekerjaan pengembangan industri pertahanan, industri alutsista dan industri almatsus dalam negeri.
Mari ditelaah satu persatu persyaratan tersebut:
  1. Tugas pokok sekolah adalah menyelenggarakan kegiatan belajar
    mengajar bukan untuk melaksanakan rehabilitasi gedung dan bangunan,
    sehingga seharusnya sekolah tidak dapat melaksanakan swakelola untuk
    rehabilitasi gedung dan melanggar Pasal 26 Ayat 2 Huruf a.
  2. Gedung sekolah juga tidak masuk dalam klasifikasi pekerjaan yang
    operasi dan pemeliharaannya memerlukan partisipasi langsung masyarakat
    setempat karena operasi dan pemeliharaan sehari-hari dilaksanakan oleh
    manajemen sekolah. Contoh pekerjaan yang operasi dan pemeliharaan
    memerlukan partisipasi langsung masyarakat adalah WC Umum atau jalan
    desa karena memang digunakan langsung sehari-hari oleh masyarakat.
  3. Pasal 26 Ayat 2 huruf c hingga k juga tidak dapat dijadikan dasar untuk swakelola rehabilitasi sekolah.
Sehubungan dengan hal tersebut maka sekolah tidak dapat melaksanakan rehabilitasi gedung dengan cara swakelola.


Salah satu alasan yang sering disampaikan adalah dana rehabilitasi
merupakan dana hibah, sehingga dapat dilakukan dengan cara swakelola.


Pendapat ini merupakan pendapat yang masih berdasarkan kepada
Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 80 Tahun 2003 yang memang menyebutkan
bahwa salah satu tipe swakelola adalah “Kelompok masyarakat penerima
hibah.”


Kata “penerima hibah” ini telah dihilangkan pada Perpres Nomor 54 Tahun 2010.


Bahkan khusus untuk kelompok masyarakat yang boleh melaksanakan
swakelola, telah ditekankan pada Pasal 31 Huruf b Perpres 54/2010 yaitu
“pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa hanya diserahkan kepada Kelompok
Masyarakat Pelaksana Swakelola yang mampu melaksanakan pekerjaan.” Hal
ini menegaskan bahwa harus ada penilaian terlebih dahulu apakah kelompok
tersebut mampu atau tidak. Kemampuan biasanya sejalan dengan tugas
pokok dari kelompok masyarakat setempat, misalnya kelompok masyarakat
petani pasti memiliki kemampuan dalam hal pertanian, demikian juga
dengan kelompok masyarakat nelayan yang memiliki kemampuan dalam bidang
perikanan.


Hal ini saya ungkapkan karena ada juga yang menyampaikan bahwa
swakelola dapat dilakukan oleh Komite Sekolah, karena komite sekolah
merupakan kelompok masyarakat. Nah, selain tidak memenuhi Pasal 26 Ayat
2, kemampuan komite sekolah untuk melaksanakan rehabilitasi sekolah
apakah sudah dipastikan? Berapa banyak diantara mereka yang memiliki
kemampuan dalam bidang Jasa Konstruksi? Juga apakah mereka memiliki SKA
atau SKT dalam bidang Jasa Konstruksi sesuai wewenang Undang-Undang (UU)
Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi?


Berdasarkan paparan di atas, maka pelaksanaan Rehabilitasi Sekolah
dengan cara swakelola oleh sekolah penerima hibah/bantuan tidak
berdasarkan peraturan perundang-undangan.


Lebih Baik dan Lebih Hemat


Beberapa alasan lain yang digunakan untuk membenarkan pelaksanaan
swakelola adalah swakelola lebih baik daripada proses tender, sistem
swakelola dapat menghemat anggaran, lebih banyak bangunan yang dapat
dibangun dengan menggunakan cara swakelola dibandingkan dengan lelang,
dan dapat menciptakan lapangan kerja.


Swakelola lebih baik?


Kata-kata “baik adalah sebuah kata yang amat subjektif karena bergantung cara pandang dan pengalaman seseorang dalam memandang.


Memang benar bahwa di beberapa daerah, sekolah yang dulu dibangun
dengan cara swakelola, kualitasnya lebih baik dibandingkan dengan cara
lelang/tender. Hal ini karena kepala sekolahnya amat komit terhadap
kualitas sehingga sangat mengawasi pelaksanaan pembangunan. Juga orang
tua siswa yang ikut membangun, dilandasi dengan semangat bahwa anaknya
bersekolah di sekolah tersebut, maka mereka akan mengerjakan dengan
baik.


Tetapi tidak bisa dipungkiri juga, beberapa kepala sekolah malah
masuk bui alias hotel prodeo alias penjara karena dituduh korupsi dana
swakelola pembangunan gedung. Salah satu beritanya dapat dibaca disini.


Juga banyak sekolah yang dibangun dengan mekanisme swakelola, belum
lama digunakan malah rubuh. Hal ini dapat dilihat pada pembangunan gedung perpustakaan SD Negeri Pemurus 8 Banjarmasin yang umur bangunannya baru 1 tahun. Contoh lain adalah pembangunan Gedung Laboratorium IPA SMPN 1 Grogol yang rusak padahal umurnya baru 2 (dua) minggu.


Masih banyak contoh-contoh lain yang amat mudah diperoleh hanya dengan melakukan pencarian menggunakan Google.


Ini membuktikan, metode pengadaan, tidak menjamin mutu pekerjaan.


Swakelola lebih hemat?


Sama dengan tulisan “swakelola lebih baik”, hemat adalah sebuah sifat
yang bersifat subjektif dan sulit diukur. Bisa saja pada saat
pelaksanaan pembangunan gedung sekolah dilakukan penghematan, tetapi
baru 1 bulan dipakai malah rubuh, maka sia-sialah pekerjaan yang telah
dilakukan.


Yang harus diingat, swakelola dan menggunakan penyedia barang/jasa
harus berlandaskan Harga Perhitungan Sendiri (HPS) yang telah disusun.
Penghematan dapat dilakukan apabila penyusunan HPS dilakukan secara
profesional dan tidak di-mark-up sehingga menguntungkan diri sendiri
atau orang lain. HPS juga harus berdasarkan kepada harga pasar setempat
dan telah memperhitungkan pajak dan keuntungan yang wajar.


Pajak tidak bergantung kepada proses pengadaan, swakelola dan
penyedia barang/jasa tetap harus menghitung PPn sesuai aturan yang
berlaku. Jadi tidak benar bahwa kalau swakelola maka tidak dikenakan
pajak.


Kalimat “di SDN Kendayakan Kragilan, dengan dana rehabilitasi Rp196
juta untuk tiga lokal dapat menambah satu lokal untuk guru dan untuk
sanitasi” juga tidak menunjukkan bahwa swakelola bisa lebih hemat. Hal
ini berarti HPS yang ditetapkan sebelumnya masih terlalu tinggi sehingga
sebenarnya setelah dilaksanakan dapat menambah satu lokal lagi.


Penciptaan lapangan kerja dengan metode swakelola juga adalah
lapangan kerja semu karena yang bekerja bukan merupakan orang-orang yang
ahli di bidangnya. Juga kalau dilaksanakan menggunakan metode
lelang/tender, tetap dapat menciptakan lapangan kerja.


Jebakan Hukum


Yang saya khawatirkan sebenarnya adalah jebakan hukum dari
pelaksanaan swakelola ini, karena dengan pertanyaan sederhana saja, maka
Kepala Sekolah penerima bantuan rehabilitasi sudah sulit untuk
menjelaskan. Pertanyaan tersebut adalah “sebutkan dasar hukum dari
peraturan perundang-undangan yang membolehkan swakelola rehabilitas
bangunan sekolah dilaksanakan oleh sekolah itu sendiri.”


Kalau pembaca searching di google, terlihat sebagian besar yang
menjadi korban adalah Kepala Sekolah, karena kepala sekolah sebagai
Pengguna Anggaran (PA) bertanggung jawab terhadap pelaksanaan swakelola
di sekolahnya, sehingga apabila ada gugatan hukum, maka yang terkena
secara langsung adalah kepala sekolah itu sendiri dan bukan pemberi
bantuan.


Apalagi dalam juklak bantuan sering dituliskan “pengadaan barang/jasa
dilakukan sesuai ketentuan perundang-undangan,” sehingga apabila
pemberi bantuan ditanya maka bisa menjawab dengan jawaban “diplomatis”
bahwa pada juknis sudah ditetapkan tetapi kepala sekolah sendiri yang
tidak melaksanakan.


Selain itu, jangan sampai pemberian bantuan ini merupakan cara untuk
mempercepat “daya serap anggaran” tanpa memperhitungkan konsekwensi
hukum yang akan diterima oleh penerima bantuan pada masa yang akan
datang.


Apabila Bapak Menteri bersikeras bahwa sekolah dapat melaksanakan
swakelola untuk rehabilitasi, maka silakan mengusulkan aturan khusus
kepada Presiden agar diterbitkan Peraturan Presiden (Perpres) yang
spesifik mengatur mengenai pembangunan atau rehabilitasi sekolah.


Hal tersebut bukan tidak mungkin, dibuktikan dengan telah
dikeluarkannya Perpres Nomor 59 Tahun 2011 yang mengatur mengenai
penunjukan langsung pengadaan barang/jasa untuk kegiatan Sea Games ke
XVI di Palembang.


Jalan Keluar


Pertanyaan berikutnya setelah pembahasan di atas adalah ” Bagaimana
apabila sekolah telah terlanjur menerima dana untuk rehabilitasi dan
diperintahkan melaksanakan melalui metode Swakelola?”


Menafikan pelanggaran pasal 26 Ayat 2 Perpres 54/2010, maka kita
dapat menganggap swakelola tersebut adalah swakelola yang dilaksanakan
oleh K/L/D/I penanggung jawab anggaran, sehingga dilaksanakan dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 27 ayat 1 dan 2 serta Pasal 29 Perpres
54/2010.


Hal-hal yang wajib diperhatikan adalah:


  1.  Jumlah tenaga dari luar sekolah (termasuk tukang, pengawas, dll)
    tidak boleh melewati 50% dari jumlah keseluruhan pegawai sekolah yang
    terlibat dalam pelaksanaan pembangunan. Hal ini karena tujuan utama
    swakelola adalah menggunakan tenaga yang dimiliki sendiri dan tidak
    sekedar menjadi broker pekerjaan dan selanjutnya dikerjakan oleh
    pengusaha secara total. Hal ini tertuang pada ketentuan Pasal 27 Ayat 2
    Perpres 54/2010
  2. Pengadaan bahan/barang, Jasa Lainnya, peralatan/suku cadang dan
    tenaga ahli dilakukan oleh ULP/Pejabat Pengadaan dan dilaksanakan
    menggunakan metode pengadaan barang/jasa sesuai Perpres 54/2010. Hal ini
    berarti apabila bahan bangunan yang apabila dijumlahkan nilainya
    melebihi 100 juta, tetap wajib dilelangkan oleh Kepala Sekolah, tidak
    boleh hanya dibeli langsung ke toko. Apabila nilainya dibawah 100 juta,
    maka menggunakan metode pengadaan langsung dan memperhatikan bukti-bukti
    pembayaran sesuai Pasal 55 Perpres 54/2010 dan menggunakan Standard
    Bidding Document (SBD) Pengadaan Langsung yang dikeluarkan oleh LKPP.
  3. Hal ini juga berlaku untuk tenaga ahli dan tenaga terampil yang
    digunakan, tetap harus memperhatikan ketentuan tenaga ahli dan terampil
    berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam bidang Jasa Konstruksi,
    yaitu UU Nomor 18/1999 dan peaturan turunannya, termasuk Peraturan
    Menteri PU (PermenPU) Nomor 7 Tahun 2011. Salah satunya adalah tenaga
    ahli dan terampil wajib memiliki sertitikat keahlian atau keterampilan
    yang dikeluarkan oleh LPJK.
  4. Kepala sekolah tetap wajib membentuk 3 tim, yaitu tim perencana,
    pelaksana dan pengawas untuk melaksanakan pekerjaan sesuai tahapan dan
    bidang tugas yang telah diuraikan pada Lampiran VI Perpres 54/2010.
Semoga amanah yang diberikan dapat dilaksanakan dan tidak menjadi
sebuah jebakan hukum yang akan menjerat beberapa tahun yang akan datang.
 

Prosedur Pelaksanaan DAK Bidang Pendidikan Dari Segi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Berbicara mengenai Dana
Alokasi Khusus (DAK) bidang pendidikan bagi kepala SD dan SLTP,
terkadang melahirkan beberapa perasaan, yaitu senang, bahagia, khawatir,
bahkan takut.

Mengapa 2 perasaan yang
amat bertentangan ini dapat berkumpul menjadi satu ? Karena bagi
sebagian kepala sekolah, DAK adalah anugerah namun juga bisa berubah
menjadi musibah.
DAK bidang pendidikan,
yang fungsinya menurut aturan pemerintah bertujuan untuk membiayai
kebutuhan sarana dan prasarana satuan pendidikan dasar 9 (sembilan)
tahun di beberapa daerah menjadi ladang pemasukan atau bahkan menjadi
“ATM” pihak-pihak tertentu.
Jumlah bantuan yang
bernilai ratusan juta, dan secara nasional berjumlah 9 (sembilan)
triliun, merupakan godaan yang amat besar bagi mereka yang berkecimpung
di dalamnya.
Yang menjadi
permasalahan, DAK ini disalurkan dari pusat ke daerah dengan tujuan
akhir ke satuan pendidikan, yaitu sekolah. Kepala Sekolah sebagai
penanggung jawab administratif tertinggi pada satuan pendidikan tersebut
merupakan penanggung jawab terakhir penggunaan DAK. Namun, karena
posisi mereka yang paling terakhir inilah yang terkadang melahirkan
“musibah” bagi mereka. Karena oleh pihak-pihak tertentu yang sebagian
besar di atas mereka, DAK dipermainkan sekehendak hati dengan tanggung
jawab penuh berada di pundak kepala sekolah.
Hal
tersebut baru satu sisi dari permasalahan yang terjadi pada program DAK
bidang pendidikan lain. Sisi yang lain, coba anda tanyakan kepada siapa
saja yang bersentuhan dengan program DAK, baik tingkat pusat, propinsi,
kabupaten/kota, bahkan tingkat sekolah, bagaimana pengelolaan dan
pemanfaatan dana ini di tingkat satuan pendidikan ? Apakah pembelanjaan
harus dilaksanakan secara penunjukan langsung, pemilihan langsung, atau
bahkan pelelangan umum ?
Banyak diantara yang
pernah saya tanya secara langsung juga bingung dengan jawabannya.
Sebagian besar menjawab dengan “sesuaikan dengan juklak” atau “sesuai
Keppres No. 80”, atau “namanya juga swakelola, jadi dilaksanakan secara
swakelola.”
Sewaktu saya mengejar
dengan beberapa pertanyaan lanjutan mengenai prinsip-prinsip swakelola,
sebagian besar masih belum paham terhadap hal tersebut.
Akhirnya, masih tersisa
sebuah pertanyaan besar, yaitu “Apakah pemanfaatan DAK bidang pendidikan
harus dilaksanakan melalui tata cara pengadaan yang membutuhkan
penyedia barang/jasa atau menggunakan prosedur pembelian langsung ?”
Pada tulisan kali ini, saya mencoba untuk menyampaikan pendapat saya dalam bidang tersebut.
Dasar Hukum
Ada beberapa dasar hukum
terhadap program DAK bidang pendidikan ini, dan dasar hukum inilah yang
menjadi pokok perhatian utama untuk menjawab pertanyaan di atas.
  1. Dasar hukum pertama adalah Undang-Undang (UU) No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
    • Pasal 49 ayat (3),
      menentukan: “Dana pendidikan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah
      untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan
      peraturan perundang-undangan yang berlaku”
    • Pasal 53 ayat (3)
      menyatakan bahwa penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang
      berbentuk badan hukum pendidikan berprinsip nirlaba dan dapat
      mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.
  2. Dasar hukum kedua adalah Undang-Undang (UU) No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.
    • Pasal 4 ayat (1),
      menentukan: “Pengelolaan dana secara mandiri oleh badan hukum
      pendidikan didasarkan pada prinsip nirlaba, yaitu prinsip kegiatan
      yang tujuan utamanya tidak mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil
      usaha dari kegiatan badan hukum pendidikan, harus ditanamkan kembali
      di dalam badan hukum pendidikan untuk meningkatkan kapasitas dan/atau
      mutu layanan pendidikan.”
    • Pasal 40 ayat (5),
      menentukan: “Dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang
      disalurkan dalam bentuk hibah sesuai dengan ketentuan peraturan
      perundang-undangan untuk Badan Hukum Pendidikan diterima dan dikelola
      oleh pemimpin organ pengelola pendidikan.

  3. Dasar hukum ketiga adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan
    • Pasal 83 ayat (1)
      menentukan: “Dana pendidikan dari Pemerintah dan/atau pemerintah
      daerah diberikan kepada satuan pendidikan dalam bentuk hibah sesuai
      dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

  4. Dasar hukum keempat
    adalah Keputusan Presiden (Keppres) No 80 Tahun 2003 tentang Pedoman
    Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

    • Pasal 39 ayat (2),
      menentukan: “Swakelola dapat dilaksanakan oleh: a. Pengguna
      barang/jasa; b. Instansi pemerintah lain; c. Kelompok
      masyarakat/lembaga swadaya masyarakat penerima hibah.”
    • Lampiran I Bab. III,
      A, 2, c, menentukan: “Swakelola oleh penerima hibah adalah pekerjaan
      yang perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasannya dilakukan oleh
      penerima hibah (kelompok masyarakat, LSM, komite sekolah/pendidikan,
      lembaga pendidikan swasta/lembaga penelitian/ilmiah non badan usaha
      dan lembaga lain yang ditetapkan oleh pemerintah) dengan sasaran
      ditentukan oleh instansi pemberi hibah.”
  5. Dasar hukum kelima
    adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 20 Tahun 2009
    tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Dana Alokasi Khusus di Daerah

    • Pasal 33 ayat (1) menentukan: “DAK Bidang Pendidikan dialokasikan melalui mekanisme belanja hibah pada sekolah.”
    • Pasal 33 ayat (6)
      menentukan: “Kepala Sekolah selaku penerima hibah bertanggung jawab
      terhadap pelaksanaan kegiatan DAK Bidang Pendidikan dan realisasi
      keuangan di satuan sekolah yang dipimpinnya.”
    • Pasal 33 ayat (7)
      menentukan: Pelaksanaan program kegiatan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (6) dilakukan secara swakelola oleh sekolah selaku penerima hibah
      dengan melibatkan komite sekolah.”

  6. Dasar hukum keenam
    adalah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 5 Tahun
    2010 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK)
    Bidang Pendidikan Tahun Anggaran 2010

    • Pasal 3 menentukan:
      “DAK bidang pendidikan tahun anggaran 2010 diarahkan untuk pembangunan
      ruang/gedung perpustakaan SD/SDLB dan SMP, pengadaan meubelair
      perpustakaan SD/SDLB dan SMP, penyediaan sarana penunjang peningkatan
      mutu pendidikan SD/SDLB dan SMP, pembangunan ruang kelas baru (RKB)
      SMP, dan rehabilitasi ruang kelas (RRK) SMP.
    • Lampiran 1, II, C, 7
      menentukan: “DAK bidang pendidikan tahun anggaran 2010 diberikan
      secara langsung dalam bentuk hibah kepada satuan pendidikan (SD/SDLB
      dan SMP) dan dilaksanakan secara swakelola, dengan melibatkan Komite
      Sekolah dan partisipasi masyarakat di sekitar sekolah sebagai bagian
      integral dari sistem manajemen berbasis sekolah (MBS).

  7. Dasar hukum ketujuh
    adalah Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar
    dan Menengah (Mandikdasmen) No. 698/C/KU/2010 perihal Tata Cara
    Pelaksanaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Pendidikan Tahun Anggaran
    2010.
Nah dari semua dasar
hukum ini, bagaimana proses DAK Bidang Pendidikan ini, khususnya bila
ditinjau dari segi pengadaan barang/jasa pemerintah ?
Prosedur Pengadaan pada DAK
Saya secara pribadi
sudah beberapa kali bertanya kepada berbagai pihak mengenai DAK Bidang
Pendidikan, khususnya dalam kaitan pengadaan barang/jasa. Namun,
sebagian besar jawaban yang diberikan bersifat ragu-ragu, apalagi jika
dikejar lebih jauh sampai ke tataran teknis.
Namun, dari sekian banyak jawaban yang diberikan, ada beberapa hal yang merupakan pendapat umum di lapangan. Yaitu:
  • DAK bidang pendidikan itu adalah blockgrant yang diberikan kepada sekolah, dan pelaksanaannya harus lelang;
  • DAK dilaksanakan
    dengan cara swakelola namun apabila ada tahapan yang membutuhkan
    penyedia barang/jasa, harus dilaksanakan sesuai Keppres 80.
  • Sekolah tidak boleh menunjuk perusahaan tertentu untuk mengerjakan pekerjaan yang dibiayai dari DAK bidang pendidikan
  • Sekolah tidak boleh belanja langsung untuk membeli kebutuhan yang dipersyaratkan di dalam juknis DAK
Apakah semua pendapat itu benar ? Mari kita coba kupas satu persatu berdasarkan hukum yang telah disebutkan di atas.
  1. DAK bidang pendidikan adalah HIBAH yang diberikan kepada sekolah (UU No. 20 Tahun 2003, UU No. 9 Tahun 2009, dan PP No. 48 Tahun 2008)
  2. Sekolah berhak untuk
    mengelola dana hibah secara MANDIRI sesuai dengan aturan pemberi hibah
    (UU No. 20 tahun 2003 dan Permendagri No 20 Tahun 2009)
  3. Pengelolaan dana hibah
    dilaksanakan secara SWAKELOLA (UU No. 20 Tahun 2003, Keppres No. 80
    Tahun 2003, Permendagri No. 20 Tahun 2009, dan Permendiknas No. 5 Tahun
    2010)
Nah, apa makna dari Swakelola itu ?
Swakelola adalah
pelaksanaan pekerjaan yang direncanakan, dikerjakan, dan diawasi sendiri
(Keppres No. 80 tahun 2003 Pasal 39 Ayat 1)”
Apakah Swakelola harus
menggunakan metode pengadaan sesuai Keppres No. 80 Tahun 2003, yaitu
lelang/seleksi umum, lelang/seleksi terbatas, pemilihan/seleksi
langsung, atau penunjukan langsung ?
Disinilah sering terjadi
salah kaprah terhadap swakelola. Banyak yang beranggapan bahwa semua
swakelola itu hanya dalam proses pekerjaannya saja, sedangkan apabila
ada proses pengadaan di dalamnya, maka harus kembali kepada
aturan-aturan pengadaan.
Yang harus diperhatikan baik-baik adalah, swakelola itu terdiri atas 3 jenis, yaitu:
  1. Swakelola oleh pengguna barang/jasa
  2. Swakelola oleh instansi pemerintah lain non swadana
  3. Swakelola oleh penerima hibah
Setiap jenis swakelola mengambarkan institusi penyelenggara.
Swakelola oleh pengguna
barang/jasa adalah swakelola yang dilaksanakan oleh pemilik anggaran,
seperti Dinas Pendidikan, Universitas, LPMP, dan lain-lain. Sedangkan
swakelola oleh instansi pemerintah lain non swadana adalah swakelola
yang dilaksanakan bukan oleh pemilik anggaran. Contohnya adalah
institusi negeri yang menerima bantuan dana melalui APBN.
Swakelola oleh penerima
hibah adalah swakelola yang dilaksanakan oleh institusi non pemerintah
yang memperoleh anggaran dari APBN/APBD.
Pengertian lebih detail dapat dibaca pada Lampiran 1 Keppres No. 80 Tahun 2003 Bab III, A, 2, a sampai c.
Kalau begitu, bagaimana posisi DAK Bidang Pendidikan ini ?
Melihat dasar hukum di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa DAK Bidang Pendidikan masuk pada 2
pengertian Swakelola, yaitu swakelola jenis ke 2 dan swakelola jenis ke 3
berdasarkan penerimanya.
  1. Penerima DAK Bidang Pendidikan yang berupa institusi negeri, seperti SD/SDLB dan SMP Negeri Swakelola
    oleh pengguna barang/jasa dan swakelola oleh instansi pemerintah lain
    non swadana harus menggunakan metode pengadaan sesuai Keppres No. 80
    Tahun 2003 apabila di dalam proses swakelola terdapat pengadaan bahan,
    jasa lainnya, peralatan/suku cadang, dan tenaga ahli yang diperlukan
    oleh panitia.



    Namun, yang menjadi kendala adalah pada proses pengadaan harus
    dilaksanakan oleh panitia/pejabat pengadaan, sedangkan sesuai Keppres
    No. 80 Tahun 2003 Pasal 10 Ayat (4) butir (f), bahwa salah satu
    persyaratan panitia/pejabat pengadaan adalah memiliki sertifikat
    keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah.

    Patut diketahui, penerima DAK bidang pendidikan ini adalah sekolah
    yang sudah bisa dipastikan banyak yang belum memiliki tenaga
    bersertifikat pengadaan barang/ jasa.


    Jalan keluarnya, setelah berkonsultasi dengan Lembaga Kebijakan
    Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) adalah bekerjasama dengan Unit
    Layanan Pengadaan (ULP) yang terletak di Kabupaten/Kota.


    ULP Kabupaten/Kota dapat
    melakukan pengadaan dengan 2 cara, yaitu dengan menyatukan seluruh
    pengadaan dalam satu paket dan distribusi kontrak serta hasil dilakukan
    per-lokasi, atau melakukan pengadaan berdasarkan lokasi. Artinya, bisa
    saja akan ada 2 jenis pengadaan, yaitu pengadaan bersama dan pengadaan
    per-sekolah yang semuanya dilakukan oleh ULP setempat.Karena pendanaan
    berada di Sekolah, maka yang menjadi PPK adalah pejabat pada sekolah
    tersebut. Kepala Sekolah adalah Pengguna Anggaran dan membuat SK
    penunjukan PPK yang akan menangani pengadaan barang/jasa di sekolah
    tersebut. PPK inilah yang akan menyetujui dokumen pengadaan serta
    menandatangani kontrak pengadaan (apabila ada) dengan penyedia
    barang/jasa. Walaupun pada Keppres No. 80 tahun 2003, PPK juga
    diwajibkan untuk bersertifikat ahli pengadaan barang/jasa, namun menurut
    Surat Edaran Kepala LKPP Nomor 02/SE/KA/2010 Tanggal 11 Maret 2010
    disebutkan bahwa PPK yang berada di Propinsi dan Kabupaten diwajibkan
    memiliki sertifikat pengadaan barang/jasa pada tanggal 1 Januari 2012.
    Jadi, untuk tahun ini dan tahun depan masih dimungkinkan PPK belum
    bersertifikat pada lingkup propinsi dan kabupaten/kota.

    Ini memang merupakan sebuah pekerjaan rumah yang amat besar, utamanya
    mensosialisasikan proses pengadaan barang/jasa sesuai Keppres No. 80
    Tahun 2003 kepada seluruh sekolah negeri di Indonesia.



  2. Penerima DAK Bidang Pendidikan yang berupa institusi masyarakat, seperti SD/SDLB dan SMP Swasta



    SD/SDLB dan SMP swasta termasuk ke dalam Swakelola jenis ke 3 yang
    menurut Lampiran I Keppres No 80 Tahun 2003 Bab III, A, 1, c adalah
    jenis swakelola yang proses pengadaan barang, jasa lainnya,
    peralatan/suku cadang, dan tenaga ahli yang diperlukan, dilakukan
    sendiri oleh penerima hibah.
    Disini terlihat dengan jelas bahwa berapapun nilai pengadaannya, maka
    proses pengadaannya dilaksanakan sendiri oleh penerima hibah.Jadi,
    misalnya ada pengadaan buku, maka penerima hibah atau sekolah dapat
    datang langsung ke toko buku dan membeli buku-buku yang dibutuhkan
    sesuai dengan petunjuk pelaksanaan yang telah dibuat oleh pemberi hibah.
    Proses pertanggungjawaban keuangan cukup dengan kuitansi yang
    dikeluarkan oleh toko buku yang selanjutnya dibuat dan dirangkum dalam
    bentuk laporan. Demikian juga dengan pengadaan lainnya.


    Tapi, bukan berarti penerima hibah bisa seenaknya membelanjakan dana
    yang diperoleh dari program DAK bidang pendidikan, karena sesuai dengan
    Permendagri No. 20 Tahun 2009, tanggung jawab berada di pundak kepala
    sekolah untuk membelanjakan dana sesuai dengan petunjuk pelaksanaan.


    Juga dalam pelaksanaannya, sekolah wajib melibatkan komite sekolah
    dan masyarakat sekitar sekolah sesuai dengan Permendiknas No. 5 Tahun
    2010.Jadi, tidak ada penunjukan langsung, pemilihan/seleksi langsung,
    pelelangan/seleksi umum dalam proses DAK bidang pendidikan di sekolah
    pada jenis swakelola ini. Tidak diperbolehkan menyerahkan pekerjaan
    kepada sebuah perusahaan atau institusi di luar sekolah, karena proses
    swakelola oleh penerima hibah harus dilaksanakan sendiri oleh penerima


Semoga tulisan ini memberikan pencerahan dan dapat menjadi informasi yang bermanfaat bagi pembaca.