Thursday, September 24, 2015

Jebakan Anggaran Perubahan


Bulan Agustus adalah bulan dimulainya
pembahasan, penyusunan, dan penetapan Anggaran Perubahan yang merupakan
salah satu tahapan dari proses keuangan negara .
Anggaran Perubahan sebenarnya merupakan
tindakan koreksi atas anggaran negara atau daerah yang telah ditetapkan
pada tahun sebelumnya. Beberapa asumsi makro yang telah disusun mungkin
saja sudah tidak sesuai dengan kenyataan, misalnya lifting minyak,
target pendapatan dari pajak maupun dari bagi hasil, tingkat suku bunga,
kurs dollar, maupun inflasi.
Anggaran perubahan tentu saja akan
berdampak secara langsung terhadap proses pengadaan barang/jasa
pemerintah, karena di dalamnya pasti ada belanja modal atau belanja
barang/jasa yang berpedoman pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54
Tahun 2010 dan Perubahannya.
Beberapa kendala dan tantangan yang muncul pada saat munculnya anggaran perubahan adalah:
  1. Perencanaan yang tidak matang
  2. Waktu pelaksanaan yang mepet
  3. Akuntabilitas yang tidak terjaga
Perencanaan yang tidak matang
Salah satu kendala utama dalam proses
pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia adalah lemahnya
perencanaan dalam pengadaan. Banyak pengadaan yang dilaksanakan tidak
berdasarkan kebutuhan dan hanya berdasarkan keinginan sesaat, sehingga
melahirkan pengadaan yang mengada-ada.
Setiap tambahan anggaran yang diperoleh
berdasarkan alokasi anggaran perubahan dianggap sebagai “rejeki nomplok”
yang dapat dibelanjakan seenaknya selama dapat dipertanggungjawabkan
pengeluarannya. Mereka lupa bahwa klausul “dapat dipertanggungjawabkan”
tidak sekedar dilengkapi dengan kuitansi atau dokumen bukti pembayaran
saja, melainkan juga harus dilengkapi dengan dokumen pendukung
perencanaan yang matang.
Banyak pimpinan instansi yang seakan
akan bangun dipagi hari, menguap, kemudian terpikir untuk mengadakan
sesuatu, dan setelah tiba di kantor langsung memerintahkan staf untuk
membuat perencanaan dan mengadakan apa yang baru saja diimpikan. Hal ini
dilakukan tanpa membuka dokumen rencana strategis, tidak melihat RPJMD,
bahkan tanpa ada KAK yang matang terlebih dahulu.
Disatu sisi, pemberian dan pembagian
anggaran juga hanya dilakukan secara proporsional alias bagi-bagi
anggaran semata. Jumlah anggaran yang diberikan kepada instansi tidak
berdasarkan pertimbangan kebutuhan melainkan pembagian berapa banyak
anggaran yang dapat dihabiskan oleh instansi tersebut. Di beberapa
instansi, karena memperoleh porsi anggaran yang besar namun ketakutan
dalam melaksanakan pengadaan, malah “melempar bola panas” dalam bentuk
bantuan sosial, hibah, atau blockgrant kepada instansi yang dibawahnya.
Nanti yang menjadi korban adalah instansi penerima yang tidak merasa
sudah menerima “musibah” dan menganggap hal tersebut sebagai “rejeki.”
Instansi pemberi tentu saja akan menuai pujian dengan alasan “daya serap
anggaran yang tinggi.”
Waktu Pelaksanaan Yang Mepet 
Salah satu  sifat anggaran perubahan
adalah dikeluarkan pada pertengahan tahun anggaran. Ini berarti masa
persiapan, pemilihan penyedia dan pelaksanaan pekerjaan hanya tinggal
maksimal 6 bulan lagi dengan catatan penetapan anggarannya tidak molor.
Namun berdasarkan pengalaman, di beberapa daerah penetapannya bisa
sampai bulan Oktober, yang berarti masa pelaksanaan pekerjaan hanya
tinggal 2 bulan saja.
Dalam menyikapi waktu yang amat singkat
inilah maka banyak terjadi sulap dan akrobat dalam pelaksanaan
pekerjaan. Ada yang sudah dikerjakan sampai selesai, nanti tinggal
diatur seakan-akan dilelang secara terbuka. Ada juga yang pada bulan
Desember dibuat BAST 100% agar anggaran dapat terserap, namun kenyataan
di lapangan amat jauh dari nilai tersebut. Kongkalingkong, pekerjaan
fiktif, suap, pemalsuan dokumen, gratifikasi, bermunculan bagaikan jamur
di musim hujan.
Hal ini sering terjadi karena sifat dan
jenis pekerjaan yang akan diadakan menggunakan anggaran perubahan tidak
dikaji secara mendalam dan tidak direncanakan secara baik. Semua
menggunakan konsep aji mumpung, yaitu mumpung ada anggaran, maka
sebaiknya bangun gedung. Anggaran 10 Milyar, waktu pelaksanaan 2 Bulan.
Waktu pelaksanaan yang sempit juga
menyebabkan pelaksanaan pelelangan menjadi terburu-buru. Kegagalan
lelang menjadi hal yang tidak boleh terjadi, sehingga segala sesuatu
harus diatur terlebih dahulu. Bahkan kalau perlu sejak awal dokumen
penawaran penyedia sudah disusunkan oleh ULP. Hal ini menyebabkan tidak
terjadinya persaingan yang sehat dan berpotensi terjadinya kerugian
negara.
Akuntabilitas Yang Tidak Terjaga
Akibat pelaksanaan terburu-buru, maka
dokumen yang dihasilkan dari pelaksanaan pekerjaan menjadi amburadul.
Salah satu contohnya adalah banyaknya dokumen sisipan (biasanya nomor
surat menggunakan kode a, b, c, dll dibelakang nomor) yang justru dibuat
menggunakan tanggal mundur.
Dokumen pelelangan yang disusun, karena
alasan waktu tidak cukup, hanya sekedar copy paste save as dari Standard
Bidding Document (SBD) atau Standar Dokumen Pengadaan (SDP) LKPP tanpa
diedit. Bahkan dalam dokumen masih sering terjadi informasi yang saling
bertentangan satu sama lain. Metode pelelangan masih tertulis “lelang
umum/pemilihan langsung” yang seharusnya dipilih salah satunya oleh
Pokja ULP, jenis kontrak masih memunculkan harga satuan dan lumpsum
secara bersamaan, rancangan kontrak yang masih kosong sama sekali, dan
masih banyak lagi.
Belum lagi dokumen pelaksanaan pekerjaan
yang kadang tidak masuk diakal. Salah satunya adalah Tanggal Kontrak 31
Desember pukul 8 Pagi, dan tanggal Berita Acara Serah Terima bertanggal
31 Desember pukul 5 sore, padahal pekerjaannya membangun gedung senilai
3 Milyar Rupiah. Ini pasti pemborongnya dari kalangan Jin yang mampu
membangun hanya dalam hitungan jam.
Dokumen-dokumen merupakan pintu masuk
pada saat pemeriksaan atau audit. Apabila pintu ini sudah lubang
dimana-mana, maka bersiaplah untuk dicek lebih dalam lagi, karena boleh
jadi isinya sudah tidak ada.
Apa Yang Harus Dilakukan?
Angaran perubahan yang terbit setelah
pertengahan tahun dapat menjadi jebakan berbahaya yang siap mengintai
oleh seluruh pengelola pengadaan. Namun, karena ini sudah merupakan
aturan keuangan negara, maka tetap wajib dilaksanakan.
Untuk menjaga agar tidak terjebak, maka hal-hal ini dapat diperhatikan:
  1. Untuk PA/KPA serta Bagian Perencanaan,
    apabila memperoleh tambahan anggaran melalui anggaran perubahan,
    prioritaskan pekerjaan yang telah direncanakan sebelumnya namun tidak
    dapat dilaksanakan karena adanya pembatasan/pemotongan anggaran. Hindari
    membuat kegiatan baru yang tidak ada dalam Rencana Strategis (Renstra)
    maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).
  2. Apabila tidak ada lagi kegiatan yang
    tertunda dan dapat dibiayai dari anggaran perubahan, maka prioritaskan
    program yang akan dilaksanakan tahun depan untuk ditarik pada anggaran
    tahun ini. Hal ini agar target yang telah tertera pada Renstra maupun
    RPJM dapat lebih cepat terpenuhi.
  3. Hindari belanja modal dan prioritaskan
    belanja barang, khususnya belanja modal pekerjaan kostruksi yang
    dipastikan tidak akan selesai pada Bulan Desember
  4. Lengkapi semua dokumen perencanaan,
    yang dimulai dari Identifikasi Kebutuhan, Kerangka Acuan Kerja (KAK),
    dan Rencana Anggaran Biaya (RAB) tanpa mengada-ada. Sesuaikan dengan
    kebutuhan dan bukan keinginan.
  5. Apabila menerima anggaran dalam bentuk
    Hibah atau Blockgrant, maka pastikan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) atau
    Petunjuk Teknis (Juknis) sudah lengkap dan memuat ketentuan mulai dari
    perencanaan, pengadaan, pembayaran hingga pertanggungjawaban. Hati-hati
    dengan kalimat bersayap “pengadaan dilaksanakan sesuai ketentuan
    peraturan perundang-undangan” yang berarti penyusun Juklak/Juknis hendak
    lepas tanggung jawab dari pelaksanaan kegiatan.
  6. PPK agar dalam melaksanakan tugasnya,
    khususnya penyusunan rencana pelaksanaan pekerjaan (Spek Teknis, HPS ,
    dan Rancangan Kontrak) agar lebih berhati-hati karena biasanya pada
    akhir tahun harga lebih fluktuatif dan supply tersedia. Jangan sampai
    pada saat pelaksanaan pekerjaan terjadi kekosongan barang yang
    mengakibatkan tertundanya pelaksanaan pekerjaan.
  7. PPHP jangan mau membuat dan
    menandatangani Berita Acara Serah Terima (BAST) pekerjaan 100% kalau
    pelaksanaan pekerjaan belum mencapai 100% walaupun dengan alasan “supaya
    anggaran dapat dicairkan.”
  8. Apabila setelah dianalisa pekerjaan
    tidak dapat dilaksanakan karena tidak sesuai kebutuhan, barang tidak
    tersedia, atau waktu pelaksanaan yang tidak mencukupi, maka TOLAK
    anggaran tersebut. Jangan coba-coba melaksanakan pekerjaan yang nantinya
    akan disesali dikemudian hari.
Semoga jebakan ini dapat dihindari dan pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan kebutuhan.


PPK Tidak Sekedar Tanda Tangan Kontrak

Awal tahun 2012  beberapa orang datang langsung berdiskusi atau
bertanya melalui telepon tentang Pengadaan Barng/Jasa khususnya mengenai
pelaksanaan kontrak.
Sebagian isi diskusi adalah menanyakan pekerjaan yang dilaksanakan
akhir tahun 2011 namun hingga tahun 2012 masih belum selesai. Ada yang
bertanya bagaimana cara pemutusan kontrak, ada yang bertanya kok bisa
terjadi padahal penawaran penyedia barang/jasa pada saat pelelangan
bagus-bagus, ada juga yang bingung bagaimana membayarnya padahal batas
akhir pembayaran hanya sampai 31 Desember.
Setelah diteliti lebih dalam, sebagian besar terjadi karena
ketidaktahuan dan kurangnya kompetensi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Penyebabnya, sebagian besar menjadi PPK bukan karena memang pantas
menjadi PPK, melainkan karena menduduki jabatan eselon tertentu.
Sayangnya, banyak yang lupa, bahwa tanggung jawab PPK di Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 amat berat.
Berdasarkan Pasal 11 Perpres Nomor 54 Tahun 2010, tugas pokok dan kewenangan PPK adalah:
    1. PPK memiliki tugas pokok dan kewenangan sebagai berikut:
      1. menetapkan rencana pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa yang meliputi:
        1. spesifikasi teknis Barang/Jasa;
        2. Harga Perkiraan Sendiri (HPS); dan
        3. rancangan Kontrak.
      2. menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa;
      3. menandatangani Kontrak;
      4. melaksanakan Kontrak dengan Penyedia Barang/Jasa;
      5. mengendalikan pelaksanaan Kontrak;
      6. melaporkan pelaksanaan/penyelesaian Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA;
      7. menyerahkan hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA dengan Berita Acara Penyerahan;
      8. melaporkan kemajuan pekerjaan termasuk penyerapan anggaran dan hambatan pelaksanaan pekerjaan kepada PA/KPA setiap triwulan; dan
      9. menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.
    2. Selain tugas pokok dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal diperlukan, PPK dapat:
      1. mengusulkan kepada PA/KPA:
        1. perubahan paket pekerjaan; dan/atau
        2. perubahan jadwal kegiatan pengadaan;
      2. menetapkan tim pendukung;
      3. menetapkan tim atau tenaga ahli pemberi penjelasan teknis (aanwijzer) untuk membantu pelaksanaan tugas ULP; dan
      4. menetapkan besaran Uang Muka yang akan dibayarkan kepada Penyedia Barang/Jasa.
Mari kita lihat satu persatu sebagian tugas pokok dan kewenangan tersebut serta apa saja yang harus diperhatikan.
Menetapkan Rencana Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
PPK tidak bekerja pada akhir pengadaan. PPK sudah mulai bekerja sejak
perencanaan pengadaan. Hal ini karena PPK adalah orang yang paling
mengetahui tentang barang/jasa yang akan diadakan.
Oleh sebab itu, apabila terjadi kesalahan pada proses pengadaan
barang/jasa yang disebabkan karena kesalahan perencanaan, maka PPK juga
bertanggung jawab terhadap hal tersebut.
Tanggung jawab PPK pada tahap perencanaan adalah:
  1. Spesifikasi Teknis Barang/Jasa

    Ini adalah hal yang krusial, karena spesifikasi merupakan dasar dalam
    proses pengadaan barang/jasa. Setiap penawaran dari penyedia barang/jasa
    harus memenuhi spesifikasi teknis yang telah ditentukan dalam dokumen
    pengadaan.

    Yang menjadi permasalahan adalah, luasnya ruang lingkup pengadaan
    barang/jasa dan dibandingkan dengan ruang lingkup pengetahuan PPK.
    Seorang PPK harus memahami spesifikasi teknis pengadaan barang,
    pekerjaan konstruksi, jasa konsultansi, dan jasa lainnya. Seorang PPK
    tidak bisa berlindung dibalik tim teknis atau tim pendukung yang
    menyiapkan spesifikasi teknis. Seorang PPK tidak bisa berlindung dibalik
    konsultan perencana dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi.

    Walaupun sebagian kegiatan perencanaan memang harus diserahkan kepada
    ahlinya, namun pokok pokiran serta inti dari spesifikasi tetap harus
    dipahami oleh PPK.

    PPK tidak boleh berucap “saya lulusan sosial, jadi tidak paham
    bangunan.” Apabila ditemukan kesalahan perencanaan konstruksi, maka oleh
    penyidik atau pemeriksa tetap akan diminta pertanggungjawabannya.

    Disini dituntut keluasan pengetahuan dan pengalaman dari seorang PPK.
  2. Harga Perkiraan Sendiri (HPS)

    Kasus yang paling banyak menimpa pelaksanaan pengadaan barang/jasa
    adalah kasus markup dan salah satu penyebabnya terletak pada penyusunan
    HPS.

    Menyusun HPS membutuhkan keahlian tersendiri, selain harus memahami
    karakteristik spesifikasi barang/jasa yang akan diadakan, juga harus
    mengetahui sumber dari barang/jasa tersebut. Harga barang pabrikan tentu
    saja berbeda dengan harga distributor apalagi harga pasar. Juga
    perhitungan harga semen serta batu kali dan besi beton akan mempengaruhi
    total harga secara keseluruhan.

    Yang paling sering terjadi, entah karena kesengajaan atau karena
    ketidaktahuan, PPK menyerahkan perhitungan HPS kepada penyedia
    barang/jasa atau malah kepada broker bin makelar yang melipatgandakan
    harga tersebut untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok.

    PPK langsung mengambil harga tersebut tanpa melakukan cek and recheck lagi. Akibatnya pada saat pengadaan selesai dan dilakukan pemeriksanaan oleh aparat hukum, ditemukan mark up harga dan mengakibatkan kerugian negara.

    Lagi-lagi karena ketidaktahuan dan keinginan kerja cepat dan tidak teliti menjerumuskan PPK ke ranah hukum.
  3. Rancangan kontrak.

    Kontrak merupakan ikatan utama antara penyedia dengan PPK. Draft kontrak
    seyogyanya berisi hal-hal yang harus diperhatikan oleh penyedia sebelum
    memasukkan penawaran. Karena dari draft kontrak inilah akan ketahuan
    ruang lingkup pekerjaan, tahapan, hal-hal yang harus diperhatikan
    sebelum memulai pekerjaan, bagaimana proses pemeriksaan dan serah
    terima, serta hal-hal lain yang dapat mempengaruhi nilai penawaran
    penyedia.

    Draft kontrak bukan sekedar lembaran-lembaran kertas. Ada beberapa jenis
    kontrak yang harus diketahui dan dipahami oleh PPK. Apa  dan kapan
    harus menggunakan kontrak lumpsum, kontrak harga satuan, gabungan
    lumpsum dan harga satuan, kontrak persentase, kontrak terima jadi,
    kontrak tahun tunggal, kontrak tahun jamak, kontrak pengadaan tunggal,
    kontrak pengadaan bersama, kontrak payung (framework contract), kontrak pengadaan pekerjaan tunggal, dan kontrak pengadaan pekerjaan terintegrasi.

    Itu baru dari sisi jenis kontraknya. Belum membahas mengenai
    syarat-syarat umum dan syarat-syarat khusus kontrak. Perlakuan terhadap
    pekerjaan yang bersifat kritis juga harus berbeda dengan perlakukan
    pekerjaan rutin. Bahkan untuk pekerjaan yang dilaksanakan menjelang
    akhir tahun anggaran harus memperhatikan klausul denda, batas akhir
    pekerjaan, dan pembayaran, khususnya apabila pekerjaan melewati batas
    pembayaran KPPN.
Ini semua baru penjelasan untuk tugas pokok pertama lho 😀
Menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ)

PPK tidak serta merta menerbitkan SPPBJ setelah pelaksanaan
pelelangan. PPK punya hak untuk tidak sependapat atas penetapan pemenang
yang telah dilakukan oleh panitia.
Dasar SPPBJ adalah Berita Acara Hasil Pelelangan (BAHP) yang berarti PPK wajib memahami isi dari BAHP.
Memahami isi dari BAHP apalagi berani menolak penetapan panitia
berarti PPK wajib memiliki pengetahuan terhadap proses
pelelangan/seleksi yang telah dilakukan oleh panitia. Artinya, selain
kemampuan manajerial, PPK wajib mengetahui proses pengadaan barang/jasa
secara utuh dan lengkap tahap demi tahap serta memahami hal-hal apa saja
yang dievaluasi oleh panitia serta kelemahan-kelemahannya.
Inilah sebabnya, PPK wajib memiliki sertifikat keahlian pengadaan
barang/jasa. Bukan sekedar selembaran kertas belaka, tetapi PPK wajib
mengetahui proses pengadaan barang/jasa secara detail agar dapat
menjalankan fungsi check and recheck terhadap kerja panitia dan mampu untuk menolak usulan pemenang dari panitia.
Apabila PPK tidak memiliki pengetahuan dalam bidang pengadaan
barang/jasa, maka PPK cenderung hanya menjadi “tukang stempel” terhadap
hasil panitia pengadaan barang/jasa.
Menandatangani Kontrak
Kontrak adalah ikatan antara dua atau lebih pihak yang isinya mengikat kepada seluruh pihak yang menandatangani.
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) menyebutkan:
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;


  1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  3. Suatu pokok persoalan tertentu;
  4. Suatu sebab yang tidak terlarang.
PPK harus memperhatikan hal ini, karena apabila salah satu dari 4 hal
tersebut tidak terpenuhi, maka penandatanganan kontrak menjadi tidak
sah.
Sebelum penandatanganan, PPK harus yakin bahwa yang mewakili penyedia
adalah benar-benar direktur atau kuasa direktur yang nama penerima
kuasa ada dalam akta atau pejabat yang menurut anggaran dasar perusahaan
berhak untuk mengikat perjanjian. Para pihak juga dalam kondisi sah
untuk mengikat perjanjian, pokok perjanjiannya jelas dan tidak ada
hal-hal yang melanggar hukum, baik perdata maupun pidana, dalam isi
perjanjian.
Inilah pentingnya sebelum pelaksanaan penandatanganan kontrak, PPK
melaksanakan rapat persiapan terlebih dahulu agar penandatanganan
kontrak tidak sekedar seremonial belaka melainkan dipahami dan nantinya
dapat dilaksanakan oleh para pihak.
Melaksanakan Kontrak dengan Penyedia Barang/Jasa dan Mengendalikan Pelaksanaan Kontrak.

Kontrak adalah dokumen yang memiliki kekuatan hukum serta mengikat
para pihak. Namun, terkadang karena kesibukan secara struktural, PPK
hanya menandatangani dan melupakan pelaksanaannya.
Penyedia barang/jasa dibiarkan bekerja seenak mereka atau hanya
memasrahkan pengawasan pelaksanaan pekerjaan pada konsultan pengawas.
Mereka lupa, bahwa pelaksanaan pekerjaan adalah tanggung jawab PPK.
Apabila terjadi permasalahan, sering dibiarkan begitu saja dan baru
kalang kabut apabila pekerjaan telah selesai atau mengalami hambatan.
Ini yang sering terjadi pada pekerjaan konstruksi, khususnya apabila
pelaksanaan pekerjaan tersebut dilaksanakan pada akhir tahun anggaran.
Sudah menjadi aturan baku, bahwa tahun anggaran berakhir 31 Desember
bagi pekerjaan yang dilaksanakan berdasarkan kontrak tahun tunggal. Tapi
baru kalang kabut akhir Desember setelah melihat pekerjaan belum
selesai 100% bahkan tidak dapat diselesaikan tepat tanggal 31 Desember.
Malah sebagian kasus, baru pusing setelah masuk bulan Januari.
Keterlambatan pekerjaan tidak terjadi begitu saja dan tidak terjadi
hanya dalam semalam. Sejak awal, setiap keterlambatan telah dapat
dideteksi. Seharusnya, apabila ada gejala-gejala awal keterlambatan,
misalnya material yang seharusnya sudah masuk belum tiba, atau curah
hujan yang terjadi diluar perkiraan, maka dapat dilakukan tindakan
pencegahan dan langkah-langkah penanggulangan.
Apabila setelah dicoba ditanggulangi tetap tidak dapat teratasi, maka
klausul kontrak kritis dapat diberlakukan. Lagi-lagi, khusus klausul
kontrak kritis sudah harus dipersiapkan pada saat perencanaan atau
penyusunan draft kontrak.
Namun, alangkah banyak PPK yang setelah menandatangani kontrak
seakan-akan melupakan adanya sebuah pekerjaan yang berada dibawah
tanggungjawabnya. Malah ada yang baru turun ke lokasi proyek pembangunan
gedung kalau atasannya hendak berkunjung. Sehingga, saat menghadapi
masalah menjadi gelagapan dan kebingungan.
PPK wajib memiliki kemampuan untuk membaca time shedule dan
berbagai jenis bentuk dan mekanisme kontrol pekerjaan. Bisa berupa kurva
S atau bentuk diagram lainnya. Pemahaman terhadap aplikasi project
(seperti MS Project) adalah nilai plus.
Melaporkan pelaksanaan/penyelesaian Pengadaan Barang/Jasa dan
kemajuan pekerjaan termasuk penyerapan anggaran dan hambatan
pelaksanaan pekerjaan kepada PA/KPA setiap triwulan

Melaporkan pelaksanaan pekerjaan ini tidak sekedar membuat laporan
Asal Bapak Senang (ABS). PPK juga harus mampu melaporkan kesesuaian
antara kontrak yang ditandatangani dengan pelaksanaan pekerjaan.
Selain kemajuan fisik, yang sering ditanyakan oleh PA/KPA adalah
kemajuan daya serap anggaran serta kendala yang dihadapi pada saat
pelaksanaan.
Yang harus diingat, setiap kendala merupakan tugas yang harus
diselesaikan oleh PPK, sehingga setiap laporan terhadap kendala harus
dibarengi dengan laporan rencana penyelesaian terhadap kendala tersebut.
Menyerahkan hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA dengan Berita Acara Penyerahan
Salah satu temuan yang paling sering terjadi adalah pengadaan barang/jasa fiktif.
Hal ini terjadi karena PPK tidak cermat dalam melihat barang/jasa
yang diadakan. Hasil pekerjaan yang diserahkan oleh penyedia barang/jasa
diterima bulat-bulat dan tidak melakukan prinsip check and recheck
Karena tidak memahami jenis barang/jasa yang diadakan, PPK biasanya menerima dokumen apapun yang disodorkan oleh penyedia.
Walaupun ada panitia penerima hasil pekerjaan atau ada konsultan
pengawas, penanggung jawab pekerjaan tetap berada di tangan PPK,
sehingga pemeriksaan atas barang/jasa yang telah diadakan tetap mutlak
dilakukan oleh PPK sebelum diserahkan kepada PA/KPA.
Penyerahan hasil pekerjaan tidak sekedar menyerahkan secara fisik,
melainkan harus menyerahkan sesuai dengan fungsi dan kemampuan yang
telah ditetapkan dalam dokumen pengadaan serta dokumen kontrak. Oleh
sebab itu, pada saat pengujian, PPK harus bisa memastikan setiap
spesifikasi sesuai dengan yang telah ditetapkan dan alat/barang
berfungsi sesuai ketentuan.
Nah, dari tulisan ini telah jelas beberapa tugas pokok dan fungsi PPK
dan jelas bahwa tugas PPK tidak sekedar tanda tangan kontrak.
Oleh sebab itu, bagi SKPD  yang tidak mengangkat PPK, karena
mengikuti Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 21 Tahun
2011, pastikan PA/KPA memahami tugas pokok dan fungsi dari PPK.
Karena, apabila PA/KPA bertindak selaku PPK, maka tugas pokok PPK juga melekat pada mereka.



Solusi Akhir Tahun dalam Pelaksanaan Kontrak PBJ

Salah satu “kehebohan” yang biasa terjadi pada akhir tahun anggaran
adalah pelaksanaan pekerjaan yang tidak dapat diselesaikan pada akhir
tahun.
Yang menjadi permasalahan utama, pelaksanaan pekerjaan untuk kontrak
tahun tunggal tidak boleh melewati tahun anggaran. Belum lagi KPPN hanya
melayani pembayaran maksimal pada tanggal 20 Desember.
Menyikapi hal tersebut, khususnya untuk pekerjaan yang tidak dapat
diselesaikan pada tanggal 31 Desember, dilakukan salah satu dari 3
kemungkinan yaitu:
  1. Memutuskan kontrak secara sepihak sejak tanggal 31 Desember dan menyatakan penyedia wanprestasi
  2. Melanjutkan pekerjaan pada tahun anggaran berikutnya namun penyedia
    wajib menyerahkan jaminan pembayaran senilai pekerjaan yang belum
    diselesaikan. Hal ini telah dituliskan oleh pak Agus Kuncoro (Guskun)
    melalui tulisan pada laman http://www.guskun.com/blog/pengadaan/84-pilihan-seorang-ppk-bagi-negara-nya
  3. Memalsukan Berita Acara Serah Terima (BAST) seakan-akan pekerjaan
    telah selesai pada tanggal 20 Desember, namun menahan anggarannya sampai
    pekerjaan selesai dilaksanakan pada rekening penampungan tertentu.
Yang mengkhawatirkan, banyak terjadi kasus yang diakibatkan pilihan
ke 3 di atas, karena rawan terhadap penyimpangan serta kalau ada
pemeriksaan sudah dapat dipakstikan menjadi temuan.
Namun, tanggal 7 Februari 2012, Menteri Keuangan telah menetapkan
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 25/PMK.05/2012 tentang
Pelaksanaan Sisa Pekerjaan Tahun Anggaran Berkenaan Yang Dibebankan Pada
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran Berikutnya.
Ini merupakan angin segar terhadap pelaksanaan pekerjaan tersebut,
walaupun terlambat,  agar tidak terjadi lagi BEST palsu bertebaran
dimana-mana.
Beberapa hal pokok dalam PMK tersebut adalah:
  1. Pekerjaan yang tidak dapat diselesaikan hingga akhir tahun dapat
    dilanjutkan pekerjaannya pada tahun anggaran berikutnya namun tidak
    termasuk sebagai kontrak tahun jamak (Multiyears);
  2. Pekerjaan yang dilanjutkan pada tahun anggaran berikutnya tidak
    boleh menggunakan DIPA tahun pelaksanaan, melainkan harus menggunakan
    DIPA tahun berikutnya. Apabila anggaran belum tersedia maka harus
    melakukan revisi DIPA/Petunjuk Operasional Kegiatan (POK);
  3. Kontrak pekerjaan yang dilanjutkan pada tahun anggaran berikutnya
    harus diadendum untuk mencantumkan sumber anggaran tahun berikutnya atas
    sisa pekerjaan yang akan diselesaikan;
  4. Penyedia wajib membuat surat pernyataan kesanggupan menyelesaikan sisa pekerjaan yang ditujukan kepada KPA (bukan PPK) ;
  5. Penyedia tetap dikenakan denda keterlambatan sebesar 1/1000 x jumlah
    hari, maksimal 50 hari kalender sejak tanggal berakhirnya kontrak awal;
  6. Apabila setelah 50 hari penyedia tetap tidak dapat menyelesaikan
    pekerjaan, maka kontrak dihentikan dan dikenakan denda maksimum.

Masa Kontrak vs Masa Pelaksanaan Pekerjaan

Salah satu pertanyaan yang sering sulit dijawab oleh pelaksana
pengadaan barang/jasa adalah apa perbedaan antara masa kontrak dengan
masa pelaksanaan pekerjaan.
Sebagian besar jawaban yang sering disampaikan adalah keduanya sama
saja. Atau yang disebut dengan masa kontrak/masa berlakunya kontrak itu
sama dengan masa pelaksanaan pekerjaan.
Hal ini sering menjadi permasalahan khususnya pada akhir tahun
anggaran dalam hal pencairan pembayaran atau untuk perhitungan denda
pelaksanaan pekerjaan.
Apakah benar bahwa masa kontrak itu sama dengan masa pelaksanaan
pekerjaan? Apabila iya, maka beberapa ilustrasi di bawah ini mungkin
dapat menjadi renungan.
  1. Seperti yang kita ketahui, bahwa kontrak itu dimulai sejak
    ditandatangani. Sedangkan pelaksanaan pekerjaan dimulai sejak
    dikeluarkannya Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK). Apabila SPMK
    dikeluarkan beberapa hari setelah kontrak ditandatangani, maka akan ada
    waktu kosong antara tanggal penandatanganan kontrak dengan SPMK. Apabila
    kita beranggapan bahwa masa kontrak = masa pelaksanaan pekerjaan,
    artinya sejak kontrak ditandatangani hingga SPMK, tidak ada kontrak
    disana. Ini jelas tidak mungkin.
  2. Khusus untuk pekerjaan konstruksi, serah terima pekerjaan dilakukan
    sebanyak 2 kali, yaitu serah terima pertama (PHO) dan serah terima akhir
    (FHO) setelah dilakukan pemeliharaan. Untuk menjamin penyedia
    barang/jasa melaksanakan pemeliharaan, maka diwajibkan jaminan
    pemeliharaan atau retensi sebesar 5% dari nilai kontrak. Apabila
    penyedia barang/jasa tidak melaksanakan pemeliharaan, maka jaminan atau
    retensi  ini disita dan dicairkan ke kas negara/daerah. Ketentuan
    pencairan ini tertuang dalam kontrak. Apabila masa kontrak = masa
    pelaksanaan pekerjaan, maka tentu saja setelah serah terima pertama,
    kontrak sudah dinyatakan tidak berlaku karena masa berlakunya telah
    selesai sehingga penyedia tidak terikat lagi pada kontrak tersebut. Hal
    ini berarti penyedia yang tidak melaksanakan pemeliharaan tidak dapat
    dihukum atau dikenakan sanksi sesuai ketentuan dalam kontrak.
  3. Penyedia barang/jasa yang tidak dapat menyelesaikan pekerjaan hingga
    masa pelaksanaan pekerjaan berakhir, dapat tetap melanjutkan pekerjaan
    dengan dikenakan sanksi denda keterlambatan. Bahkan PPK dapat memutuskan
    kontrak apabila penyedia telah diberikan kesempatan selama 50 hari
    kalender namun tetap tidak mampu menyelesaikan pekerjaan. Apabila masa
    kontrak = masa pelaksanaan pekerjaan, maka setelah masa pelaksanaan
    pekerjaan berakhir, kontrak akan putus dengan sendirinya sehingga
    penyedia barang/jasa yang terlambat dalam melaksanakan pekerjaan tidak
    memiliki dasar untuk dikenakan denda keterlambatan. Hal ini karena
    klausul denda tersebut tertuang pada kontrak yang sudah tidak berlaku
    lagi.
Dari ketiga ilustrasi tersebut jelas bahwa masa kontrak tidak sama dengan masa pelaksanaan pekerjaan.
Kemudian, apa yang dimaksud dengan masa kontrak?
Dalam setiap standar dokumen pengadaan  yang resmi dikeluarkan oleh
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) melalui
Peraturan Kepala (Perka) LKPP Nomor 15 dan 18 Tahun 2012  pada
Syarat-Syarat Umum Kontrak (SSUK), Bagian A, 1, Klausul 1.24 telah
disebutkan bahwa “Masa Kontrak adalah jangka waktu
berlakunya kontrak ini terhitung sejak tanggal kontrak ditandatangani
sampai dengan masa pemeliharaan berakhir
.”
Hal ini jelas bahwa masa kontrak tidak sekedar masa pelaksanaan
pekerjaan. Masa pelaksanaan pekerjaan merupakan bagian dari masa
kontrak.
Hal ini dapat dilihat secara jelas pada gambar di bawah:
kontrak
Setiap Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) harus memperhatikan ketentuan
ini yang harus diisi pada Syarat-Syarat Khusus Kontrak (SSKK), karena
kesalahan dalam menuliskan masa kontrak dapat menyebabkan para pihak
menjadi tidak terikat lagi dalam ketentuan perjanjian sehingga setiap
implikasi dari pelanggaran kontrak tidak dapat dibebankan kepada para
pihak yang terlibat.
Khusus untuk pekerjaan kontruksi, masa kontrak dapat melewati tahun
anggaran apabila masa pemeliharaan juga melewati tahun anggaran.
Misalkan sebuah pekerjaan kontraksi selesai pada bulan Nopember 2013 dan
membutuhkan pemeliharaan selama 3 bulan, maka masa kontraknya berakhir
pada bulan Februari 2014.
Ini bukanlah kontrak tahun jamak, karena pengertian kontrak tahun
jamak berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 dan
Perubahannya, Pasal 52 Ayat 2 adalah kontrak yang pelaksanaan pekerjaannya untuk masa lebih dari 1 (satu) tahun anggaran, bukan yang masa kontraknya lebih dari 1 tahun anggaran.
Hal lain yang harus diperhatikan berkenaan dengan masa kontrak dengan
masa pelaksanaan pekerjaan adalah mengenai keterlambatan pelaksanaan
pekerjaan.
Yang dimaksud dengan keterlambatan sehingga penyedia dikenakan sanksi
denda keterlambatan adalah pelaksanaan pekerjaan yang melewati batas
akhir pelaksanaan pekerjaan. PPK harus memperhatikan batas waktu kontrak
apabila terjadi keterlambatan pekerjaan, karena setiap keterlambatan
akan mengakibatkan mudurnya masa pemeliharaan pekerjaan (khusus untuk
pekerjaan konstruksi). Untuk memperhatikan hal ini maka PPK perlu
melakukan adendum kontrak dengan menambah masa kontrak, bukan dengan
menambah waktu pelaksanaan pekerjaan.
Apabila PPK menambah waktu pelaksanaan pekerjaan dengan alasan
penyedia terlambat, maka tentu saja penyedia itu tidak terlambat lagi,
karena batas waktu peneyelesaian pekerjaannya turut mundur dan
disesuaikan dengan batas waktu baru yang telah diadendum oleh PPK.
Karena tidak terlambat, maka tidak dapat dikenakan denda keterlambatan.
Khusus untuk akhir tahun anggaran, masa pelaksanaan pekerjaan tidak
dimungkinkan untuk diadendum melebihi akhir tahun anggaran yaitu 31
Desember karena akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pekerjaan.
Tulisan mengenai ini sudah saya bahas juga pada artikel Putuskan saja (SEMUA) kontrak akhir tahun.
Akhir tulisan, perlu diperhatikan mengenai perbedaan antara masa
kontrak dengan masa pelaksanaan pekerjaan karena implikasi hukum perdata
terhadap ketidakpahaman ini dapat berakibat fatal di kemudian hari.

Juknis Perpres Nomor 4 Tahun 2015 menggunakan Aplikasi SPSE

Sejak diundangkannya Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 4 Tahun 2015 yang merupakan Perubahan keempat Perpres
Nomor 54 Tahun 2010, maka pertanyaan yang paling banyak diajukan adalah
belum sesuainya antara aplikasi SPSE yang ada saat ini (SPSE Versi 3.5)
dengan peraturan tersebut. Beberapa hal yang menjadi ganjalan adalah:
  1. Ketentuan lelang tidak gagal apabila yang memasukkan penawaran kurang dari 3
  2. Ketentuan tidak adanya sanggahan prakualifikasi
  3. Ketentuan Seleksi Sederhana menggunakan Pascakualifikasi
  4. Ketentuan bahwa e-purchasing dapat dilakukan oleh Pejabat Pengadaan dan/atau PPK
Sehubungan dengan hal tersebut, maka
LKPP pada tanggal 4 Februari 2015 telah mengeluarkan surat nomor
311/D-II.3/02/2015 tentang Petunjuk Teknis Peraturan Presiden Nomor 4
Tahun 2015 menggunakan Aplikasi SPSE yang ditujukan kepada Pada Kepala
LPSE.
Surat Juknis Perpres 4/2015





Silakan mengunduh file tersebut dari tautan Petunjuk Teknis (Juknis) Perpres Nomor 4 Tahun 2015 melalui Aplikasi SPSE





Khalid Mustafa

Hapuskan Persyaratan Pajak 3 Bulan Terahir Pada Dokumen Pengadaan

Perpres Nomor 4 Tahun 2015 tentang
Perubahan ke 4 Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah membuat beberapa perubahan yang cukup signifikan yang
bertujuan untuk percepatan dan kemudahan pelaksanaan pengadaan
barang/jasa pemerintah.
Salah satu poin penting pada Perpres ini
adalah Pasal I angka 3 yang mengubah ketentuan Pasal 19 Ayat (1) huruf l
yang sebelumnya bertuliskan:
“sebagai wajib pajak sudah memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah memenuhi kewajiban perpajakan
tahun terakhir (PPTK Tahunan) serta memiliki laporan bulanan PPh Pasal
21, PPh Pasal 23 (bila ada transaksi), PPh Pasal 25/Pasal 29 dan PPN
(bagi Pengusaha Kena Pajak) paling kurang 3 (tiga) bulan terakhir dalam
tahun berjalan.”
berubah menjadi:
“memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah memenuhi kewajiban perpajakan tahun terakhir.”
Hal ini berarti ketentuan perpajakan
yang tercantum dalam dokumen pengadaan maupun persyaratan yang tertulis
pada Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) tidak boleh lagi
mempersyaratkan laporan bulanan pajak 3 bulan terakhir.
Ini memang merupakan kemajuan yang cukup
berarti, karena alangkah banyaknya penawaran yang digugurkan dengan
alasan tidak memenuhi ketentuan pajak 3 bulan terakhir.
Ini tidak sepenuhnya kesalahan penyedia
saja, melainkan beberapa pokja yang tidak mengetahui ketentuan
perpajakan. Salah satunya adalah ketentuan batas akhir pembayaran dan
pelaporan SPT Masa. Masih banyak Pokja yang mempersyaratkan laporan
pajak bulan sebelumnya padahal pemasukan penawaran dibawah tanggal 20.
Aturan perpajakan menetapkan batas akhir pelaporan adalah tanggal 20
sehingga apabila sebelum tanggal 20 maka penyedia belum memiliki laporan
bulanan pajak bulan sebelumnya.
Salah satu permasalahan yang terjadi
adalah perubahan persyaratan perpajakan yaitu penambahan Pasal 4 ayat 1
dan ayat 2 yang tidak tertuang dalam Perpres 54/2010 dan perubahannya.
Yang terjadi adalah digugurkannya penyedia yang tidak memasukkan bukti
lapor Pasal 25/29 padahal penyedia sudah melaporkan pajak Pasal 4.
Dengan dihapuskannya persyaratan ini,
maka kebingungan mengenai pasal-pasal perpajakan dapat dihindari.
Apalagi ke depannya akan dikembangkan Informasi Kinerja Penyedia yang
akan menilai kinerja seluruh penyedia berbasis elektronik, sehingga
dokumen kualifikasi tidak perlukan lagi dalam pengadaan barang/jasa.
Perlu diketahui, Perpres ini berlaku
sejak ditetapkan, yaitu tanggal 16 Januari 2015, sehingga diharapkan
seluruh Pokja untuk menyesuaikan dokumen pengadaan yang saat ini sedang
disusun atau yang akan dilaksanakan pada tahun ini.

Apakah Metode Pengadaan Langsung dapat digunakan untuk Pengadaan Barang yang menambah aset ?

Salah satu
pertanyaan yang sering muncul di blog ini atau di Facebook saya adalah
“Apakah metode pengadaan langsung dapat digunakan untuk pengadaan barang
yang menambah aset ?”
Pertanyaan ini muncul karena melihat isi Pasal 39 Ayat 1 Perpres 54/2010 yang berbunyi:
Pengadaan
Langsung dapat dilakukan terhadap Pengadaan Barang/Pekerjaan
Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dengan ketentuan sebagai berikut:



  1. merupakan kebutuhan operasional K/L/D/I;
  2. teknologi sederhana;
  3. risiko kecil; dan/atau
  4. dilaksanakan
    oleh Penyedia Barang/Jasa usaha orang- perseorangan dan/atau badan
    usaha kecil serta koperasi kecil, kecuali untuk paket pekerjaan yang
    menuntut kompetensi teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh Usaha Mikro,
    Usaha Kecil dan koperasi kecil.
Kemudian kalau melihat Penjelasan Perpres 54/2010 Pasal 39 Ayat 1 Huruf a:
Yang dimaksud dengan kebutuhan operasional K/L/D/I adalah kebutuhan rutin K/L/D/I dan tidak menambah aset atau kekayaan K/L/D/I.
Kalimat
penjelasan inilah yang kemudian membuat sebagian panitia/ULP menarik
kesimpulan bahwa Pengadaan Langsung tidak dapat digunakan untuk
mengadakan barang yang dapat menambah aset atau kekayaan K/L/D/I
Apakah benar demikian ?
Mari kita cermati aturan ini dengan seksama :)
Dalam
melihat sebuah aturan atau produk hukum, kita tidak boleh hanya melihat
dari satu kalimat saja, melainkan harus melihat secara keseluruhan
termasuk semua tanda baca dan kata penghubung yang digunakan, karena
dari hal-hal tersebut makna sebuah kalimat atau pasal dapat berubah
secara drastis.
Oleh sebab
itu, mari kembali melihat Pasal 39 Ayat 1 Perpres 54/2010 yang saya
gabungkan dengan pengertian kebutuhan operasional sesuai Penjelasan
Perpres 54/2010.
Pengadaan
Langsung dapat dilakukan terhadap Pengadaan Barang/Pekerjaan
Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dengan ketentuan sebagai berikut:



  1. merupakan kebutuhan operasional K/L/D/I (kebutuhan rutin K/L/D/I dan tidak menambah aset atau kekayaan K/L/D/I);
  2. teknologi sederhana;
  3. risiko kecil; DAN/ATAU
  4. dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa usaha orang- perseorangan DAN/ATAU
    badan usaha kecil serta koperasi kecil, kecuali untuk paket pekerjaan
    yang menuntut kompetensi teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh Usaha
    Mikro, Usaha Kecil dan koperasi kecil.
Coba lihat kata DAN/ATAU pada huruf c dan d di atas.
Pengertian
DAN/ATAU menurut Bahasa Indonesia adalah pilihan penggunaan kata
penghubung DAN atau kata penghubung ATAU. Artinya, kita bisa memilih
apakah hendak menggunakan DAN atau menggunakan ATAU.
Pemilihan kata sambung ini amat berpengaruh terhadap pengertian dari Pasal 39.
Menurut Bahasa
Indonesia, kata DAN dan ATAU adalah kata penghubung koordinatif. Kata
DAN digunakan untuk menandai hubungan penambahan. Kata ATAU digunakan
untuk menandai hubungan pemilihan.
Mari sekarang
kita ubah kata penghubung dengan menggunakan kata DAN pada huruf c dan
menggunakan kata ATAU pada huruf d. Hal ini karena pada huruf d, tidak
bisa menggunakan 2 kondisi secara bersamaan.
Pengadaan
Langsung dapat dilakukan terhadap Pengadaan Barang/Pekerjaan
Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dengan ketentuan sebagai berikut:



  1. merupakan kebutuhan operasional K/L/D/I (kebutuhan rutin K/L/D/I dan tidak menambah aset atau kekayaan K/L/D/I);
  2. teknologi sederhana;
  3. risiko kecil; DAN
  4. dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa usaha orang- perseorangan ATAU
    badan usaha kecil serta koperasi kecil, kecuali untuk paket pekerjaan
    yang menuntut kompetensi teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh Usaha
    Mikro, Usaha Kecil dan koperasi kecil.
Apabila
menggunakan kata DAN pada huruf c, maka seluruh kondisi pada a, b, c,
dan c WAJIB ada untuk dapat melaksanakan Pengadaan Langsung. Artinya,
syarat untuk dapat melaksanakan pengadaan langsung selain nilainya di
bawah 100 Juta Rupiah adalah harus kebutuhan operasional yang merupakan
kebutuhan rutin dan tidak menambah aset, teknologinya sederhana,
resikonya kecil dan dilaksanakan oleh penyedia perseorangan atau badan
usaha kecil.
Sekarang, kita ganti kata penghubung pada huruf c dengan kata ATAU.
Pengadaan
Langsung dapat dilakukan terhadap Pengadaan Barang/Pekerjaan
Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dengan ketentuan sebagai berikut:



  1. merupakan kebutuhan operasional K/L/D/I (kebutuhan rutin K/L/D/I dan tidak menambah aset atau kekayaan K/L/D/I);
  2. teknologi sederhana;
  3. risiko kecil; ATAU
  4. dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa usaha orang- perseorangan ATAU
    badan usaha kecil serta koperasi kecil, kecuali untuk paket pekerjaan
    yang menuntut kompetensi teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh
    Usaha Mikro, Usaha Kecil dan koperasi kecil.
Apabila
menggunakan kata penghubung ATAU pada huruf c, maka kondisi a, b, c, dan
d merupakan pilihan. Salah satu kondisi WAJIB ada agar Pengadaan
Langsung dapat dilaksanakan. Artinya, syarat untuk melaksanakan
pengadaan langsung selain nilainya di bawah 100 Juta Rupiah adalah kebutuhan
operasional yang merupakan kebutuhan rutin dan tidak menambah aset
ATAU teknologinya sederhana ATAU resikonya kecil ATAU  dilaksanakan oleh
penyedia perseorangan atau badan usaha kecil.
Berdasarkan
paparan di atas, maka Metode Pengadaan Langsung dapat digunakan untuk
pengadaan barang yang menambah aset selama nilainya di bawah 100 juta
rupiah.
Catatan:
Sebelum ada
yang bertanya, saya sampaikan bahwa sampai tulisan ini di buat, SBD
Pengadaan Langsung belum dikeluarkan oleh LKPP, sehingga prosedur
pengadaan langsung belum saya tulis. Setelah keluar, akan saya susun
prosedur serta tahapannya