Sunday, March 29, 2015
PPBJ: Dengan Kontrak TahunTunggal, Apakah Harus Putus Ko...
PPBJ: Dengan Kontrak TahunTunggal, Apakah Harus Putus Ko...: Dengan Kontrak Tahun Tunggal, Apakah Harus Putus Kontrak Di Akhir Tahun Pemutusan Kontrak pada pekerjaan dengan Kontrak Tahun Tu...
Dengan Kontrak Tahun
Tunggal, Apakah Harus Putus Kontrak Di Akhir Tahun
Pemutusan
Kontrak pada pekerjaan dengan Kontrak Tahun Tunggal ternyata tidak hanya
menarik dibahas saat memasuki batas akhir tahun anggaran. Isu ini bahkan
menjadi isu nasional yang masih terus diperbincangkan sampai dengan saat ini.
Karena alasan itulah Penulis mencoba untuk mengkaji kembali dasar hukum yang
terkait dengan pemutusan Kontrak pada pekerjaan yang menggunakan Kontrak Tahun
Tunggal. Dasar hukum yang digunakan Penulis adalah Peraturan Presiden Nomor 54
Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta semua perubahannya
(selanjutnya disingkat Perpres 54/2010).
Perpres 54/2010 yang terdiri
dari 19 Bab dan 136 Pasal telah mengalami dua kali perubahan. Perubahan pertama
melalui Perpres Nomor 35 Tahun 2011 yang ditetapkan pada tanggal 30 Juni 2011.
Perpres 35/2011 hanya merubah Pasal 44 dengan menambahkan satu klausul pada
ayat (2). Perubahan tersebut memuat ketentuan tentang Penunjukan Langsung
Penyedia Jasa Konsultansi di Bidang Hukum. Perubahan kedua melalui Perpres
Nomor 70 Tahun 2012 yang telah diundangkan pada tanggal 1 Agustus 2012.
Perubahan yang tertuang dalam
Perpres Nomor 70 Tahun 2012 tergolong signifikan. Setidaknya ada 325 perubahan
baik pada batang tubuh maupun penjelasannya. Terdapat tiga tujuan dilakukannya
perubahan kedua tersebut, yaitu: mempercepat pelaksanaan anggaran baik APBN
maupun APBD, menghilangkan dan memperjelas hal-hal yang masih multitafsir,
dan memperjelas arah reformasi kebijakan pengadaan.
Pasal 93 yang memuat tentang
ketentuan Pemutusan Kontrak merupakan salah satu pasal yang mengalami perubahan
sangat mendasar. Sebelum membahas lebih jauh Pasal 93, akan dijelaskan terlebih
dahulu tentang Kontrak Tahun Tunggal. Pengertian Kontrak Tahun Tunggal
berdasarkan Pasal 52 ayat (1) adalah ”Kontrak yang pelaksanaan pekerjaannya
mengikat dana anggaran selama masa 1 (satu) Tahun Anggaran”. Yang dimaksud
dengan Tahun Anggaran berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara adalah “meliputi masa satu tahun mulai dari
tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember”. Dengan demikian, dalam penetapan
jangka waktu pelaksanaan harus memperhatikan batas akhir tahun anggaran.
Perpres 54/2010 beserta semua
perubahannya harus dipahami secara utuh agar tidak terjadi bias dan
multitafsir. Merujuk pada Pasal 51 ayat (2), penetapan jangka waktu pelaksanaan
pada Kontrak Tahun Tunggal tidak boleh melampaui batas akhir tahun anggaran
(tanggal 31 Desember tahun berkenaan). Hal ini sudah jelas dan tidak perlu
diperdebatkan lagi. Hanya saja, pemahaman tentang jangka waktu pelaksanaan yang
tertuang dalam Kontrak harus dibedakan dengan masa keterlambatan pelaksanaan
pekerjaan sebagaimana diatur pada Pasal 93. Jangka waktu pelaksanaan dalam
Kontrak sudah jelas tidak boleh melampaui batas akhir tahun anggran, namun masa
keterlambatan penyelesaian pekerjaan boleh melewati batas akhir tahun anggaran.
Permasalahan yang sering
dijumpai saat pelaksanaan kontrak antara lain belum selesainya pekerjaan sampai
dengan batas akhir tahun anggaran. PPK seringkali berada dalam posisi
dilematis. Disatu sisi kondisi pekerjaan masih berlangsung dan output-nya
berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, namun disisi lain tahun anggaran
akan segera berakhir. Dalam situasi seperti ini PPK dituntut untuk mampu
mengambil keputusan yang dapat menguntungkan semua pihak (win-win solution).
PPK mendapatkan output pekerjaan, Penyedia tidak mengalami pemutusan Kontrak,
dan masyarakat dapat menikmati manfaat dari hasil pekerjaan tersebut.
Pasal 93 memberikan ruang
kepada PPK dan Penyedia untuk menggunakan masa keterlambatan dalam penyelesaian
pekerjaan. Terdapat dua ayat dalam Pasal 93, yaitu: pertama, mengatur tentang
ketentuan pemutusan Kontrak secara sepihak oleh PPK (Pejabat Pembuat Komitmen);
dan kedua, mengatur tentang tindakan yang dilakukan oleh PPK setelah dilakukan
pemutusan kontrak karena kesalahan Penyedia. Berikut kutipan lengkap isi pasal
93 ayat (1) dan (2).
Pasal 93 ayat (1), PPK dapat
memutuskan Kontrak secara sepihak, apabila: a. kebutuhan barang/jasa tidak
dapat ditunda melebihi batas berakhirnya kontrak; a.1. berdasarkan penelitian
PPK, Penyedia Barang/Jasa tidak akan mampu menyelesaikan keseluruhan pekerjaan
walaupun diberikan kesempatan sampai dengan 50 hari kalender sejak masa
berakhirnya pelaksanaan pekerjaan untuk menyelesaikan pekerjaan; a.2. setelah
diberikan kesempatan menyelesaikan pekerjaan sampai dengan 50 hari kalender
sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan, Penyedia Barang/Jasa tidak dapat
menyelesaikan pekerjaan; b. Penyedia Barang/Jasa lalai/cidera janji dalam
melaksanakan kewajibannya dan tidak memperbaiki kelalaiannya dalam jangka waktu
yang telah ditetapkan; c. Penyedia Barang/Jasa terbukti melakukan KKN,
kecurangan dan/atau pemalsuan dalam proses Pengadaan yang diputuskan oleh
instansi yang berwenang; dan/atau d. pengaduan tentang penyimpangan prosedur,
dugaan KKN dan/atau pelanggararan persaingan sehat dalam pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa dinyatakan benar oleh instansi yang berwenang.
Beberapa hal yang perlu
diperhatikan pada Pasal 93 ayat (1) antara lain penggunaan kata “dapat” pada
kalimat “PPK dapat memutuskan Kontrak secara sepihak, apabila: a. – d”. Makna
kata “dapat” yang sesuai dengan kalimat tersebut adalah “bisa” atau “boleh”
(Sumber: Kamus Besar Bahasa Indonesia). Makna kata “dapat” tentu berbeda dengan
kata “wajib” atau “harus”. Selain itu, perlu diperhatikan juga penggunaan kata
penghubung “dan/atau” pada akhir kalimat Pasal 93 ayat (1) huruf c. Kata
“dan/atau” tersebut bersifat optional-kumulative. Artinya, pemutusan Kontrak
hanya dapat dilakukan jika telah memenuhi minimal satu ketentuan yang
ditetapkan tersebut. Tindakan pemutusan Kontrak merupakan penjabaran dari salah
satu kewenangan PPK dalam pelaksanaan dan pengendalian Kontrak sebagaimana
diatur pada Pasal 11 ayat (1) huruf d dan e.
Ketentuan pemutusan kontrak
secara sepihak oleh PPK seringkali disalahtafsirkan. Oleh karena itu, Penulis
akan mengurai makna dari setiap klausul pada Pasal 93 ayat (1) yang berhubungan
dengan pelaksanaan kontrak tahun tahun tunggal. Pasal 93 ayat (1) huruf a, a.1,
c, dan d tidak perlu lagi ditafsirkan lain karena sudah jelas maksud dan
tujuannya. Penulis hanya akan menguraikan makna Pasal 93 ayat (1) huruf a.2 dan
huruf b.
Pasal 93 ayat (1) huruf a.2
memberikan ruang kepada Penyedia untuk menyelesaikan pekerjaan dalam kurun
waktu 50 hari kalender masa keterlambatan. Penjelasan Pasal ini tercantum
“cukup jelas”, artinya tidak perlu lagi dimaknai lain. Dengan demikian, tidak
ada larangan jika masa keterlambatan tersebut melampaui batas akhir tahun
anggaran. Pemberian waktu keterlambatan tentu didasari pada itikad baik (good
faith) dari masing-masing pihak untuk menyelesaikan pekerjaan. Selama masa
keterlambatan Penyedia dikenakan denda sebesar 1/1000 (satu perseribu) dari
nilai Kontrak atau nilai bagian Kontrak untuk setiap hari keterlambatan (Pasal
120).
Pasal 93 ayat (1) huruf b:
“Penyedia Barang/Jasa lalai/cidera janji dalam melaksanakan kewajibannya dan
tidak memperbaiki kelalaiannya dalam jangka waktu yang telah ditetapkan”.
Penggunaan kata penghubung “dan” pada Pasal 93 ayat (1) huruf b bermakna bahwa
pemutusan Kontrak hanya dapat dilakukan jika memenuhi dua unsur, yaitu: 1).
Penyedia lalai/cidera janji; dan 2). Penyedia tidak memperbaiki kelalaiannya
dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. Pemutusan Kontrak tidak dapat
dilakukan jika hanya memenuhi unsure yang pertama (lalai/cidera janji).
Penjelasan Pasal 93 ayat (1)
huruf b: “Adendum bukti perjanjian dalam hal ini hanya dapat dilakukan untuk
mencantumkan sumber dana dari dokumen anggaran Tahun Anggaran berikutnya atas
sisa pekerjaan yang akan diselesaikan (apabila dibutuhkan). Masa berakhirnya
pelaksanaan pekerjaan untuk Pekerjaan Konstruksi disebut juga Provisional Hand
Over”. Berdasarkan Penjelasan tersebut, PPK dan Penyedia diharuskan melakukan
addendum bukti perjanjian apabila waktu keterlambatan selama 50 hari kalender
akan melewati batas akhir tahun anggaran. Hal yang perlu diadendum hanyalah
sumber dana untuk sisa pekerjaan yang belum terbayarkan pada tahun anggaran
berkenaan. Pembiayaan penyelesaian sisa pekerjaan tersebut bersumber dari
dokumen anggaran tahun anggaran berikutnya. Prosedur dan mekanisme penganggaran
terhadap sisa pekerjaan pada tahun anggaran berkenaan yang dibebankan pada
dokumen anggaran tahun anggaran berikutnya mengacu pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Tindakan PPK atas Pemutusan
kontrak secara sepihak akibat kesalahan Penyedia diatur pada Pasal 93 Ayat (2):
“Dalam hal pemutusan Kontrak dilakukan karena kesalahan Penyedia Barang/Jasa,
maka PPK melakukan tindakan berupa: a. Jaminan Pelaksanaan dicairkan; b. sisa
Uang Muka harus dilunasi oleh Penyedia Barang/Jasa atau Jaminan Uang Muka
dicairkan; c. Penyedia Barang/Jasa membayar denda; dan d. Barang/Jasa
dimasukkan dalam Daftar Hitam”. Tindakan pada huruf a, b, dan c bersifat
situasional, sedangkan huruf d bersifat mengikat.
Pencairan Jaminan Pelaksanaan
tidak berlaku pada paket pekerjaan yang tidak menggunakan Jaminan Pelaksanaan
(Jasa Konsultansi dan Pengadaan Barang/Konstruksi/Jasa Lainnya dengan nilai
Kontrak sampai dengan Rp. 200 Juta). Pelunasan sisa uang muka atau pencairan
Jamina Uang Muka tidak berlaku bagi Penyedia yang tidak mencairkan uang muka.
Pengenaan denda keterlambatan tidak berlaku jika pemutusan Kontrak dilakukan
masih dalam jangka waktu pelaksanaan pekerjaan .
Lebih baik memberikan waktu
keterlambatan untuk penyelesaian pekerjaan walaupun akan melampaui batas akhir
tahun anggaran daripada melakukan pemutusan Kontrak hanya karena alasan batas
akhir tahun anggaran. Didalam 19 Bab dan 136 Pasal pada Perpres 54/2010 beserta
semua perubahannya tidak ada satu klausulpun yang menyatakan bahwa pemutusan
Kontrak diakhir tahun “wajib” atau “harus” dilakukan pada pekerjaan dengan
Kontrak Tahun Tunggal.
Sumber : Rahfan Mokoginta
Wednesday, March 25, 2015
PPBJ: URGENSI KEBIJAKAN DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA ...
PPBJ: URGENSI KEBIJAKAN DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA ...: URGENSI KEBIJAKAN DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH Abstrak Pengadaan barang dan jasa pada hakikatnya adalah upaya pihak p...
URGENSI KEBIJAKAN DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH
Abstrak
Pengadaan barang dan jasa pada hakikatnya adalah upaya pihak pengguna barang/jasa untuk mendapatkan atau mewujudkan barang/jasa yang diinginkan. Di samping itu, prinsip pengadaan harus dilaksanakan dalam pengadaan, sehingga prinsip dijadikan sebuah pedoman untuk berpikir atau bertindak. Sebuah prinsip merupakan roh sebuah perkembangan ataupun perubahan, dan merupakan akumulasi pengalaman ataupun pemaknaan oleh sebuah objek atau subjek tertentu.
Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) menerapkan prinsip-prinsip dasar merupakan hal mendasar yang harus menjadi acuan, pedoman dan harus dijalankan dalam PBJ. Di samping itu, terkandung filosofi PBJ yakni upaya untuk mendapatkan barang/jasa yang diinginkan dengan menggunakan pemikiran logis sistematis, mengikuti norma dan etika yang berlaku berdasarkan metode dan proses pengadaan yang baku;
I. Pendahuluan
Dengan semakin meningkatnya pembangunan di negara kita, maka bertambah besar pulalah dana yang diperlukan untuk pengadaan barang/jasa pemerintah, baik dana yang berasal dari dalam negeri, luar negeri, maupun dana gabungan.’
Hal ini memerlukan perhatian serta penanganan yang sungguh-sungguh dari kita, karena kurang baiknya pelaksanaan pengadaan barang/jasa tersebut akan mengakibatkan kerugian-kerugian yang besar bagi pemerintah. Kerugian-kerugian tersebut antara lain, diperolehnya barang yang keliru, kurang baik kualitasnya, kurang sesuai kuantitasnya, kurang terpenuhi persyaratan teknis lainnya, serta terlambatnya pelaksanaan pengadaan serta penyerahan barang/jasa yang diperlukan, sehingga tertundanya pemanfaatan barang/jasa yang diperlukan, terhambatnya tingkat daya serap dana. Bahkan untuk berbantuan luar negeri semakin besarnya beban biaya yang harus ditanggung oleh pemerintah (dengan adanya kewajiban untuk membayar bunga dan commitment fee).
Selama ini, pemerintah beralasan seretnya realisasi belanja karena pelaksanaan proyek-proyek pemerintah terhambat berbagai hal. Seperti pembebasan lahan maupun masih dalam proses tender. Seperti kita ketahui, pengeluaran pemerintah sangat efektif memacu pertumbuhan ekonomi disamping investasi swasta, konsumsi, dan ekspor-impor).
Oleh karena itu, pengadaan barang dan jasa pada hakikatnya adalah upaya pihak pengguna barang/jasa untuk mendapatkan atau mewujudkan barang/jasa yang diinginkan dengan menggunakan metode dan proses tertentu agar dicapai kesepakatan tepat harga, kualitas (spesifikasi), kuantitas (volume), waktu, dan kesepakatan lainnya.
Selanjutnya pengadaan tersebut dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, apabila pihak pengguna maupun penyedia harus berpedoman pada filosofi pengadaan, tunduk pada etika dan norma pengadaan yang berlaku, mengikuti prinsip-prinsip, metode, dan prosedur pengadaan yang baik (sound practices).
Pengadaan barang/jasa pemerintah yang dibiayai dengan APBN/APBD dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien dengan prinsip-prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka dan perlakuan yang adil bagi semua pihak, sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan masyarakat. Karena pemerintah selaku pengguna barang/jasa membutuhkan barang/jasa untuk meningkatkan pelayanan publik atas dasar pemikiran yang logis dan sistematis, mengikuti prinsip dan etika yang berlaku, serta berdasarkan metoda dan proses pengadaan yang berlaku.
Alasan pengadaan barang/jasa pada instansi pemerintah adalah tugas pokok keberadaan instansi pemerintah bukan untuk menghasilkan barang/jasa yang bertujuan profit oriented, tetapi lebih bersifat memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu, pemerintah membutuhkan barang/jasa yang berkualitas yang dapat digunakan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing kantoe/satuan kerja. Oleh karena itu keberadaan pengadaan barang/jasa sangat penting dalam rangka pelayanan kepada masyarakat..
II. Prinsip, Kebijakan, dan Etika Pengadaan Barang/Jasa
2.1 Prinsip dalam Pengadaan Barang/Jasa
Prinsip artinya adalah aturan, ketentuan/hukum, standar. Dasar artinya adalah kunci, utama/pokok, vital. Dengan pengertian lain prinsip adalah suatu pernyataan fundamental atau kebenaran umum maupun individual yang dijadikan sebuah pedoman untuk berpikir atau bertindak. Sebuah prinsip merupakan roh sebuah perkembangan ataupun perubahan, dan merupakan akumulasi pengalaman ataupun pemaknaan oleh sebuah objek atau subjek tertentu.
Prinsip-prinsip dasar pengadaan artinya ketentuan/peraturan/standar yang pokok/utama/kunci/elementer yang harus/wajib dilaksanakan dalam pengadaan. dengan demikian penerapan prinsip dasar pengadaan adalah wajib hukumnya.
Sesuai dengan teori ekonomi dan pemasaran, barang/jasa harus diproduksi dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumen (pembeli). Masing-masing pihak memiliki tujuan berbeda-beda. Pengguna barang/pembeli menghendaki barang/jasa berkualitas tertentu dengan harga yang semurah-murahnya, sebaliknya penjual menginginkan keuntungan setinggi-tingginya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Selain itu dalam pengadaan barang/jasa oleh instansi pemerintah, pada umumnya para pelaku pengadaan cenderung belum merasa “memiliki” seperti dengan membelanjakan dengan uangnya sendiri. Dalam teori agensi, pemilik sumber daya (uang) pada instansi pemerintah adalah rakyat, sedangkan pengguna anggaran/barang adalah manajer yang seringkali memiliki tujuan berbeda dengan pemiliknya. Tanpa prinsip dan etika, para pihak cenderung untuk memuaskan keinginannya masing-masing. Oleh karena itu, diperlukan kesepakatan yang harus dipenuhi bersama.
Prinsip adalah suatu pernyataan fundamental atau kebenaran umum maupun individual yang dijadikan sebuah pedoman untuk berpikir atau bertindak. Sebuah prinsip merupakan roh sebuah perkembangan ataupun perubahan, dan merupakan akumulasi pengalaman ataupun pemaknaan oleh sebuah objek atau subjek tertentu.
PBJ menerapkan prinsip-prinsip dasar merupakan hal mendasar yang harus menjadi acuan, pedoman dan harus dijalankan dalam PBJ. Di saming itu, terkandung filosofi PBJ yakni upaya untuk mendapatkan barang/jasa yang diinginkan dengan menggunakan pemikiran logis sistematis, mengikuti norma dan etika yang berlaku berdasarkan metode dan proses pengadaan yang baku;
Gunanya memahami prinsip-prinsip dasar pengadaan barang/jasa adalah mendorong praktek PBJ yang baik, menekan kebocoran anggaran, meningkatkan efisiensi penggunaan uang negara, dan terwujudnya pemerintahan yang bersih.
Adapun prinsip-prinsip dasar pengadaan barang/jasa pemerintah adalah 1) efisien, 2) efektif, 3) terbuka dan bersaing, 4) transparan, 5) adil/tidak diskriminatif, dan 6) akuntabel.
EFISIEN
Efisien maksudnya adalah pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu sesingkat-singkatnya dan dapat diperttanggungjawabkan. Dengan istilah lain, efisien artinya dengan menggunakan sumber daya yang optimal dapat diperoleh barang/jasa dalam jumlah, kualitas, waktu sebagaimana yang direncanakan.
Istilah efisien dalam pelaksanaannya tidak selalu diwujudkan dengan memperoleh harga barang/jasa yang termurah, karena disamping harga murah, perlu dipertimbangkan ketersediaan suku cadang, panjang umur dari barang yang dibeli serta besarnya biaya operasional dan biaya pemeliharaan yang harus disediakan di kemudian hari.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan agar pengadaan barang/jasa efisien adalah:
1. Penilaian kebutuhan, apakah suatu barang/jasa benar-benar diperlukan oleh suatu instansi pemerintah;
2. Penilaian metode pengadaan harus dilakukan secara tepat sesuai kondisi yang ada. Kesalahan pemilihan metode pengadaan dapat mengakibatkan pemborosan biaya dan waktu;
3. Survey harga pasar sehingga dapat dihasilkan HPS (Harga Perkiraan Sendiri) dengan harga yang wajar;
4. Evaluasi dan penilaian terhadap seluruh penawaran dengan memilih nilai value for money yang terbaik;
5. Dalam proses pemilihan penyedia barang/jasa harus diterapkan prinsip-prinsip dasar lainnya.
EFEKTIF
Efektif artinya dengan sumber daya yang tersedia diperoleh barang/jasa yang mempunyai nilai manfaat setinggi-tingginya. Manfaat setinggi-tingginya dalam uraian di atas dapat berupa:
1. Kualitas terbaik;
2.Penyerahan tepat waktu;
3. Kuantiutas terpenuhi;
4. Mampun bersinergi dengan barang/jasa lainnya;
5. Terwujudnya dampak optimal terhadap keseluruhan pencapaian kebijakan atau program.
Dengan penerapan prinsip efektif maka pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan yang telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai dengan sasaran yang ditetapkan.
TERBUKA DAN BERSAING
Terbuka dan bersaing artinya pengadaan barang/jasa harus terbuka bagi penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui persaingan yang sehat di antara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas dan transparan.
Persaingan sehat merupakan prinsip dasar yang paling pokok karena pada dasarnya seluruh pengadaan barang dan jasa harus dilakukan berlandaskan persaingan yang sehat.
Beberapa persyaratan agar persaingan sehat dapat diberlakukan:
1. PBJ harus transparan dan dapat diakses oleh seluruh calon peserta;
2. Kondisi yang memungkinkan masing-masing calon peserta mempu melakukan evaluasi diri berkaitan dengan tingkat kompetitipnya serta peluang untuk memenangkan persaingan;
3. Dalam setiap tahapan dari proses pengadaan harus mendorong terjadinya persaingan sehat;
4. Pengelola PBJ harus secara aktif menghilangkan hal-hal yang menghambat terjadinya persaingan yang sehat;
5. Dihindarkan terjadinya conflict of interest;
6. Ditegakkannya prinsip non diskriminatif secara ketat.
Prinsip terbuka adalah memberikan kesempatan kepada semua penyedia barang/jasa yang kompeten untuk mengikuti pengadaan.
Persaingan sehat dan terbuka (open and efektive competition) adalah persaingan sehat akan dapat diwujudkan apabila PBJ yang dilakukan terbuka bagi seluruh calon penyedia barang/jasa yang mempunyai potensi untuk ikut dalam persaingan.
TRANSPARAN
Transparan adalah pemberian informasi yang lengkap kepada seluruh calon peserta yang disampaikan melalui media informasi yang dapat menjangkau seluas-luasnya dunia usaha yang diperkirakan akan ikut dalam proses pengadaan barang/jasa.
Setelah informasi didapatkan oleh seluruh calon peserta, harus diberikan waktu yang cukup untuk mempersiapkan respon pengumuman tersebut.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan supaya PBJ transparan adalah:
1. Semua peraturan/kebijakan/aturan administrasi/prosedur dan praktek yang dilakukan (termasuk pemilihan metoda pengadaan) harus transparan kepada seluruh calon peserta;
2. Peluang dan kesempatan untuk ikut serta dalam proses pengadaan barang/jasa harus transparan;
3. seluruh persyaratan yang diperlukan oleh calon peserta untuk mempersiapkan penawaran yang responsif harus dibuat transparan;
1. Kriteria dan tata cara evaluasi, tata cara penentuan pemenang harus transparan kepada seluruh calon peserta. Jadi dalam transparan harus ada kegiatan-kegiatan: 1) pengumuman yang luas dan terbuka, 2) memberikan waktu yang cukup untuk mempersiapkan proposal/penawaran, 3) menginformasikan secara terbuka seluruh persyaratan yang harus dipenuhi, dan 4) memberikan informasi yang lengkap tentang tata cara penilaian penawaran.
Dengan demikian bahwa dalam transparan maka semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa termasuk syarat teknis/administrasi pengadaan, tata cara evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon penyedia barang/jasa sifatnya terbuka bagi peserta penyedia barang/jasa yang berminat serta masyarakat luas pada umumnya.
ADIL/TIDAK DISKRIMINATIF
Adil/tidak diskriminatif maksudnya adalah pemberian perlakuan yang sama terhadap semua calon yang berminat sehingga terwujud adanya persaingan yang sehat dan tidak mengarah untuk memberikan keuntungan kepada pihak tertentu dengan dan atau alasan apapun.
Hal-hal yang harus diperhatikan supaya pengadaan barang/jasa berlaku adil dan tidak diskriminatif adalah 1) memperlakukan seluruh peserta dengan adil dan tidak memihak, 2) menghilangkan conflict of interest pejabat pengelola PBJ, 3) pejabat pengelola PBJ dilarang menerima hadiah, fasilitas, keuntungan atau apapun yang patut diduga ada kaitannya dengan pengadaan yang sedang dilakukan, 4) informasi yang diberikan harus akurat dan tidak boleh dimanfaatkan untuk keperluan pribadi, 5) Para petugas pengelola harus dibagi-bagi kewenangan dan tanggung jawabnya melalui system manajemen internal (ada control dan supervise), dan 6) adanya arsip dan pencatatan yang lengkap terhadap semua kegiatan.
AKUNTABEL
Akuntabel berarti harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan maupun manfaat bagi kelancaran pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pelayanan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku dalam pengadaan barang dan jasa.
Akuntabel merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan PBJ kepada para pihak yang terkait dan masyarakat berdasarkan etika, norma dan ketentuan peraturan yang berlaku.
Beberapa hal yang harus diperhatikan sehingga PBJ akuntabel adalah 1) adanya arsip dan pencatatan yang lengkap, 2) adanya suatu sistem pengawasan untuk menegakkan aturan-aturan, dan 3) adanya mekanisme untuk mengevaluasi, mereview, meneliti dan mengambil tindakan terhadap protes dan keluhan yang dilakukan oleh peserta.
Komitmen nasional melalui upaya mensinergikan aturan/sistem pengadaan barang/jasa dengan kebijakan sektor-sektor lainnya sangat diperlukan.
Pada dasarnya tujuan kebijakan umum adalah (1) mensinergikan kegiatan ekonomi dari pengadaan barang/jasa pemerintah untuk mendorong percepatan tumbuhnya industri/jasa domestik; (2) pemerintah melaksanakan fungsinya sebagai pihak yang mendorong terjadinya pemerataan; (3) mendorong terjadinya multiplier effect yang lebih besar dari kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah, apabila seluruh industri/jasa domestik dapat dilibatkan secara optimal.
Kebijakan umum pemerintah dalam pengadaan barang/jasa adalah:
a. Meningkatkan penggunaan produksi dalam negeri.
Mengapa meningkatkan produksi dalam negeri? Dengan cara apa?
Penggunaan produksi dalam negeri bertujuan meningkatkan perekonomian dalam negeri, sehingga kesejahteraan rakyat meningkat yang ditandai dengan peningkatan gross national product (GNP). Cara yang ditempuh melalui (1) memaksimalkan penggunaan produksi dalam negeri, (2) penggunaan SNI dalam spesifikasi teknis, (3) pembatasan keikutsertaan usaha asing, di atas 20 miliar untuk pengadaan barang, 100 miliar untuk jasa konstruksi, dan 10 miliar untuk jasa konsultansi, dan (4) preferensi harga untuk produksi dalam negeri.
b. Kebijakan kemandirian industri alutsista dan almatsus dalam negeri
Mengapa perlu kebijakan kemandirian industri alutsista dan almatsus dalam negeri? Kemandirian industri alutsista dan almatsus bertujuan untuk menghindari ketergantungan pada negara lain mengingat industri tersebut bersifat sangat strategis. Selain itu, produksi dalam negeri telah mampu menghasilkan sendiri produk alutsista dan almatsus dengan melibatkan anak bangsa.
c. Kebijakan peningkatan peran UMKM dan kelompok masyarakat?
Mengapa perlu kebijakan peningkatan peran UMKM dan kelompok masyarakat? Salah satu kebijakan pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat adalah meningkatkan peran UMKM khususnya dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Cara yang ditempuh dalam perpres nomor 54/2010 antara lain paket pekerjaan bernilai sampai dengan Rp 2,5 miliar untuk usaha kecil, dan memperbanyak paket untuk usaha kecil.
d. Kebijakan perhatian terhadap aspek pemanfaatan sumber daya alam dan pelestariannya.
Mengapa perlu Kebijakan perhatian terhadap aspek pemanfaatan sumber daya alam dan pelestariannya. Selama ini aspek pemanfaatan sumber daya alam dengan perhatian penuh pada pelestarian lingkungan kurang diperhatikan oleh pemerintah. Oleh karena itu dalam perpres nomor 54/2010 aspek tersebut dicantumkan dengan maksud untuk mendukung pembangunan berkelanjutan serta ikut serta dalam rangka mengurangi pengaruh rumah kaca dan pemanasan global.
e. Kebijakan peningkatan penggunaan teknologi informasi.
Mengapa perlu kebijakan peningkatan penggunaan teknologi informasi? Penggunaan teknologi informasi yang berkembang semakin cepat dimaksudkan untuk mendukung prinsip pengadaan yaitu meningkatkan transparansi dan efisiensi tanpa campur tangan pihak-pihak yang berkepentingan. Hal tersebut sejalan dengan UU Informasi dan Transaksi Elekteronik. Cara yang ditempuh antara lain:
· e-procurement = lebih cepat, murah, bebas premanisme/mafia dan dapat dimulai sejak perpres nomor 54/2010 diberlakukan sesuai dengan kebutuhan,
· Kepala daerah wajib membentuk LPSE paling lambat tahun 2012.
f. Kebijakan penyederhanaan proses. Mengapa perlu kebijakan penyederhanaan proses?
Selama ini proses pengadaan barang/jasa masih banyak sekadar memenuhi kewajiban administratif tanpa memperdulikan aspek substantifnya, akibatnya timbul biaya ekonomi tinggi dalam proses tersebut. Oleh karena itu kebijakan penyederhanaan proses pengadaan barang/jasa bertujuan untuk mengurangi biaya transaksi yang tidak perlu dalam rangka penerapan prinsip efisiensi dan efektivitas pengadaan. Cara yang ditempuh antara lain: (1) kualifikasi penyedia cukup dengan surat pernyataan, dan (2) sertifikat badan usaha tidak diperlukan.
g. Kebijakan profesionalisme para pihak.
Mengapa perlu kebijakan profesionalisme para pihak? Pengadaan barang/jasa berperan sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dan rentan dengan penyimpangan, konsekuensinya pihak-pihak terkait harus memiliki kompetensi dan professional di bidangnya, bukan sekedar tugas “sampingan”. Cara yang ditempuh antara lain (1) sertifikat bagi pejabat pengadaan/panitia/Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), (2) ULP menggantikan panitia bersifat adhoc menjadi permanen dan professional, dan harus dibentuk paqling lambat tahun 2014.
III. PENUTUP
Pembangunan yang semakin meningkat diperlukan pembiayaan yang besar sehingga diperlukan pengadaan barang/jasa yang berkualitas, jumlah, waktu, harga, yang tepat. Selain itu, hal yang tidak boleh diabaikan dalam pengadaan barang/jasa adalah efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel.
Oleh karena itu, pelaksanaan PBJ harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, karena kurang baiknya pelaksanaan pengadaan barang/jasa tersebut akan mengakibatkan kerugian yang besar bagi pemerintah. Kerugian tersebut antara lain, diperolehnya barang yang keliru, kualitas dan kuantitas, dan persyaratan teknis kurang terpenuhi, sehingga dapat terhambatnya pelayanan kepada masyarakat dan mitra kerja (stakeholders) lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin, 2010. Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa. Yogyakarta: Genta Publishing.
LKPP. 2009. Substansi Pengadaan Barang dan Jasa (Buku II) Panduan bagi Fasilitator Training of Trainer (ToT) Tingkat Dasar Pelatihan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. 2009. Jakarta (tanpa penerbit.
Perpres No. 54 Tahun 2010 . Pengadaan barang/Jasa Pemerintah.
Simamora, Manurgas. 2009. Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (modul) Pusdiklat Anggaran, Kemenkeu.
Abu Samman Lubis Widyaiswara
Balai Diklat Keuangan Malang
Subscribe to:
Posts (Atom)